02 June 2009

Pekerjaan Rumah DPD Baru

A Homework for New Senators


Published by Indonesia media

Koran Jakarta, 2 June 2009


Refly Harun

Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (CETRO)


Hasil Pemilu 2009 mengabarkan bahwa hanya ¼ dari 128 anggota DPD yang terpilih lagi. Berarti, 3/4 anggota DPD akan merupakan wajah-wajah baru, walaupun sebagian di antaranya hasil daur ulang dari caleg parpol yang berekspansi ke DPD karena tidak bisa lagi menjadi caleg melalui parpol lantaran aturan internal parpol yang bersangkutan.


Di Sumatera Selatan, misalnya, dari empat calon yang terpilih, hanya Asmawati yang merupakan wajah lama, tiga lainnya wajah baru, termasuk Percha Leanpuri, seorang dara berusia 23 tahun yang perolehan suaranya tiga kali lipat dari pemenang kedua (Aidil Fitrisyah).


Sudah tentu ini bukan berita baik bagi penguatan DPD. Dari sisi kewenangan, problem utama DPD saat ini adalah tumpulnya kekuasaan yang mereka miliki. Problem ini berkelindan dengan kenyataan masih ’hijaunya’ anggota DPD. Hal ini dapat dimaklumi karena DPD lembaga baru.


Seiring berjalannya waktu, beberapa anggota mulai terlihat lincah dalam kancah politik nasional. Lobi-lobi dengan saudara tua (baca: DPR) mulai bisa dijalankan, terlebih menyangkut agenda perubahan UUD 1945. Sayangnya, hasil pemilu bicara lain: mereka yang mulai ’lincah’ banyak yang tidak terpilih lagi. DPD harus memulai lagi kampanye dari pemain-pemain baru. Padahal, perubahan konstitusi bukanlah agenda yang mudah diwujudkan di tengah kepuasaan DPR atas desain konstitusional saat ini.


Perjuangan DPD bagi perubahan UUD 1945 ibarat membangkitkan batang terendam. Dikatakan KC Wheare (1971), perubahan konstitusi tidak hanya bergantung pada ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tata caranya, melainkan juga pada kelompok-kelompok sosial dan politik yang dominan di masyarakat; apakah mereka puas atau setuju dengan pengorganisasian dan distribusi kekuasaan yang terdapat dalam konstitusi tersebut.


Setelah mengalami perubahan dalam kurun waktu 1999-2002 yang menyebabkannya menjadi lebih demokratis, UUD 1945 masih terus digugat. Banyak yang beranggapan bahwa perubahan yang telah dilakukan tidak cukup. Masih diperlukan perubahan lain untuk memparipurnakan empat perubahan yang telah dilakukan sebelumnya.


Yang paling kencang menyuarakan perubahan adalah DPD. Tidak berhenti di situ, DPD juga telah menyiapkan draf perubahan UUD 1945 secara lebih komprehensif setelah gagal memajukan perubahan Pasal 22D yang mengatur tentang DPD pada 2007. Draf itu telah ’dijajakan’ ke berbagai kalangan untuk mendapatkan dukungan. Survei yang pernah dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2007 dan 2008, misalnya, menunjukkan bahwa mayoritas rakyat menghendaki perubahan tersebut.


Betapapun besar dukungan, ujung dari perubahan yang diusulkan berada di tangan DPR. DPR-lah yang akan memainkan peran determinan berhasil atau tidaknya perubahan konstitusi. Desain konstitusional kita memang menyebutkan bahwa MPR-lah yang memiliki kekuasaan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945. Namun, yang tidak boleh dilupakan, mayoritas MPR berasal dari anggota DPR. Jumlah anggota DPR dalam MPR lebih dari 2/3, sebuah persyaratan yang dibutuhkan untuk terjadinya sidang perubahan UUD 1945.


Masalahnya, meminjam Wheare, DPR telah merasa puas dengan desain konstitusional sekarang. Bandul kekuasaan yang tadinya lebih berat ke eksekutif (executive heavy) telah bergerak secara ekstrem ke pemberatan legislatif (legislative heavy). Pemberatan tersebut makin menjadi-jadi ketika sejumlah undang-undang yang diamanatkan konstitusi dibuat. Contoh paling nyata adalah betapa hampir semua pejabat publik harus melalui uji kepatutan dan kelayakan DPR bila ingin duduk. Bahkan, DPR tidak hanya menguji, melainkan ikut pula memilih.


Dengan desain ketatanegaraan yang lebih berat ke legislatif, tidak ada insentif bagi DPR untuk mendukung amandemen yang coba disorongkan DPD. DPR sudah sangat menikmati kekuasaan yang ada dan terlihat tidak berkeinginan membagi kekuasaan tersebut kepada lembaga lain.

Kebutuhan Objektif

Pada titik ini, sesungguhnya dibutuhkan sikap kenegarawanan anggota DPR untuk melihat perubahan konstitusi dari sisi yang obyektif. Tidak boleh melihatnya dengan kaca mata memperkuat atau melemahkan lembaga tertentu. Reformasi konstitusi 1999-2002 memang telah memunculkan konstitusi yang relatif lebih demokratis, tetapi bukan tanpa soal.


Masalah yang paling mendasar dan sesungguhnya agak teknis adalah betapa UUD 1945 menjadi semakin ’amburadul’ perwajahannya setelah diubah. Naskah asli tetap dibiarkan apa adanya, lalu kemudian hasil amandemen dilampirkan seperti model perubahan konstitusi di AS. Lampiran tersebut lebih banyak dan tebal dibandingkan naskah asli.


Untuk mempermudah lalu kemudian dibuatlah kompilasi naskah asli dengan naskah perubahan. Naskah kompilasi yang sesungguhnya tidak resmi itulah yang saat ini dibaca dan dipegang mulai dari murid-murid sekolah, mahasiswa perguruan tinggi, hingga masyarakat umum ketika belajar atau membaca UUD 1945. Buku-buku konstitusi hari ini mulai menghilangkan versi resmi UUD 1945, yaitu naskah asli ditambah dengan lampiran berupa Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002).


Dari sisi teknis, kebutuhan amandemen konstitusi saat ini adalah menyatukan naskah asli dan semua naskah perubahan ke dalam suatu sistematika yang harmonis, tidak tercerai berai. Lalu, dari sisi substantif adalah menyisir satu demi satu problem konstitusional yang ada.


Salah satu problem konstitusional yang tidak bisa dimungkiri adalah keberadaan DPD. Lembaga ini betul-betul menjadi lembaga yang tidak memiliki ujung kekuasaan. Ia bisa mengusulkan rancangan undang-undang, tetapi dipakai atau tidak tergantung DPR. Dapat memberikan pertimbangan atau membahas suatu rancangan undang-undang, lagi-lagi dipakai atau tidak tergantung kebijakan DPR. Terakhir, DPD mengawasi pelaksanaan undang-undang, tetapi hasil pengawasan tersebut berujung juga di DPR. Dipakai atau tidak hasilnya, DPR juga yang menentukan.


Pertanyaan yang menggoda, untuk apa mempertahankan lembaga yang tidak memiliki daya konstitusional tersebut? Tidak heran bila sejumlah anggota DPD pernah menyuarakan pembubaran DPD di tengah keputusasaan mereka terhadap daya konstitusional DPD.


Bila kita bersepakat dengan desain bikameral kelembagaan parlemen Indonesia, penguatan DPD sesungguhnya menjadi suatu conditio sine qua non. Pada titik ini, bukan pembubaran yang seharusnya disorongkan melainkan penguatan. Dan penguatan tersebut sesungguhnya tidak sekadar penguatan lembaga DPD an sich, melainkan desain konstitusional kita, yaitu sistem presidensial.


PR perubahan UUD 1945 tersebut selayaknya dilanjutkan oleh DPD periode 2009-2014. Pemain-pemain baru DPD harus segera mengalami proses inisiasi yang cukup dengan agenda ini. Isu perubahan UUD 1945 haruslah menjadi common platform DPD setiap periode sampai perubahan tersebut terwujud. Bila tidak, tak ada gunanya mempertahankan keberadaan DPD.***