25 March 2009

Kalla-Mega dan the Common Enemy

Kalla-Mega and the Common Enemy


Published by Indonesian Media
Jurnal Nasional, 20 March 2009

Refly Harun
Peneliti Senior Cetro, Chevening Fellow University of Birmingham, UK

Pertemuan antara Jusuf Kalla dan Megawati Soekarnoputri telah berlangsung dan menghasilkan lima kesepakatan, Kamis, 12 Maret lalu. Lima kesepakatan itu adalah (1) membangun pemerintahan yang kuat untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan rakyat; (2) memperkuat sistem pemerintahan presidensial sesuai dengan amanat UUD 1945 yang memiliki basis dukungan yang kokoh di DPR; (3) memperkuat sistem ekonomi untuk melaksanakan program ekonomi yang berdaulat, mandiri, dan berorientasi pada kepentingan rakyat; (4) mempererat komunikasi politik PDIP dan Partai Golkar sebagai perwujudan tanggung jawab dua partai politik terbesar Pemilu 1999 dan Pemilu 2004; (5) menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2009 secara jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia serta aman dan bermartabat.

Pertemuan dan kesepakatan tersebut sekali lagi membuktikan adagium politik, bahwa dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan. Kepentingan itulah yang menggerakkan pertemuan dan kesepakatan. Kepentingan tersebut adalah menghadapi musuh bersama (the common enemy). Siapa itu? Jawabnya: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)!

Menjelang perhelatan Pemilu 9 April nanti dan di tengah hiruk-pikuk ramal-meramal kandidat presiden paling jago, Kalla dan partainya (Golkar), demikian pula Mega dan partainya (PDIP), senantiasa terdesak oleh SBY dan partainya (Demokrat). Survei terakhir yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti LP3ES, LIPI, CSIS, dan Pusat Kajian Politik UI, semuanya menempatkan SBY sebagai kandidat presiden terkuat dan Demokrat sebagai partai pengumpul suara terbanyak.

Fakta tersebut sudah pasti tidak membahagiakan Kalla dan Mega. Di bawah kepemimpinan Kalla, Golkar tidak pernah unggul dalam setiap survei yang diadakan. Pemenang Pemilu 2004 tersebut paling tinggi bercokol di urutan kedua. Pada survei-survei akhir, ketika Demokrat menyodok ke urutan teratas, Golkar tercecer di posisi ketiga setelah PDIP. Fakta ini akan secara mudah dipakai oleh lawan-lawan Kalla, baik di dalam maupun di luar Golkar, sebagai kegagalannya dalam memimpin Partai Beringin.

Padahal, persepsi masyarakat terhadap prestasi pemerintahan tidak demikian. Berdasarkan survei Lembaga Survei Indoensia (LSI), misalnya, kepuasaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan meningkat, termasuk dalam hal menahan terjangan badai krisis finasial yang melanda dunia. Sebagai Wakil Presiden, Kalla jelas menanam saham besar terhadap prestasi tersebut. Sialnya, dividen dari saham tersebut tidak sebesar seperti yang dinikmati SBY. Keberhasilan pemerintahan selalu berkorelasi positif terhadap SBY dan Demokrat, tetapi tidak untuk Kalla dan Golkar.

Kekecewaan yang sama juga jelas melanda Megawati. Hingga akhir Oktober 2008, PDIP selalu digadang-gadang sebagai kandidat pemenang Pemilu 2009 oleh beragam lembaga survei. Posisi PDIP sebagai the real opposition bagi pemerintahan SBY-Kalla memberikan banyak keuntungan dibandingakn parpol lain yang tidak jelas eksistensinya. Masalahnya, nasib oposisi memang selalu bergantung pada kinerja pemerintahan. Bila kinerja tidak memuaskan, oposisi menyodok. Namun, begitu kinerja dipersepsi memuaskan, oposisi akan terpinggirkan. Saat ini kinerja sedang dianggap baik. PDIP pun terpinggirkan oleh Demokrat sejak November 2008.

Megawati sendiri pernah mencatat prestasi penting pada survei Juni 2008 ketika sempat menyodok di urutan pertama. Namun, prestasi itu tidak bertahan. Pada bulan-bulan berikutnya SBY terus unggul. Mega hanya sanggup terus-menerus bertengger di urutan kedua.
Kalla-Mega telah merasa ‘dilukai'. Tidak susah mempertemukan mereka untuk bergandeng tangan menghadapi musuh bersama tersebut. Akankah gandengan tangan tersebut berlanjut ke pelaminan politik? Siapa pun tahu, hal itu tidak mudah dan agaknya tidak mungkin. Pembagian kerja (labor division) adalah isu utama. Siapa yang mau dijadikan nomor dua? Itu pertanyaan yang sulit dijawab.

Sejak jauh-jauh hari Mega telah ditunjuk PDIP untuk menjadi calon presiden. Kalla sendiri aktif ke sana ke mari setelah memberikan kesedian untuk dijagokan sebagai presiden dari Golkar. Meminjam M. Qodari, sahabat saya, dalam suatu acara di televisi, "Apa kata dunia bila JK mengundurkan diri sebagai wakil presiden untuk menjadi calon wakil presiden Mega."
Kesimpulannya, bagaimana mungkin dua orang yang sama-sama berambisi menjadi presiden bisa bekerja sama. Terlebih keduanya diprediksikan tidak akan mengurangi posisi awal untuk menjadi orang nomor dua. Tidak sajak karena mereka tidak menginginkan, namun lingkungan mereka pasti akan bereaksi keras bila hal itu terjadi.

Untuk sementara waktu, kerja sama itu lebih bertujuan pragmatis untuk menaikkan posisi mereka dan parpol yang bakal mengusung mereka di satu sisi dan ‘menekan' musuh bersama di sisi lain. Bagi Kalla misalnya, pertemuan dengan Mega bisa dipersepsikan bahwa ia adalah a sophisticated leader yang memiliki kemampuan untuk merangkul dan menyatukan semua pihak, oposisi utama pemerintahan sekalipun. Bagi Mega dan PDIP, pertemuan ini makin menegaskan bahwa tidak semua unsur pemerintahan yang mereka musuhi. Unsur lain bisa digandeng, tetapi tidak untuk SBY.

Bila sekadar perang persepsi, sah-sah saja pertemuan tersebut. Yang tidak boleh adalah bila berlanjut dengan persekongkolan. Peluang tersebut kini terbuka lebar setelah MK menolak membatalkan ambang batas nominasi presiden (presidential threshold) 20 persen kursi dan 25 persen suara.

Cara termudah mengalahkan SBY bukan dengan mengajaknya bertarung dalam medan pilpres, melainkan menyingkirkannya dalam tahap nominasi. Caranya, berharaplah Demokrat tidak mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara. Lalu, semua mitra potensial Demokrat dibajak oleh Golkar dan PDIP dengan menawarkan posisi menggiurkan baik sebagai wapres maupun menteri dalam kabinet. Alhasil, Demokrat ditinggalkan sendirian tanpa mitra koalisi, yang berakibat SBY tidak bisa dinominasikan sebagai capres.

Bila SBY terhalang, Kalla dan Mega akan tersenyum. Bagi Kalla, lebih enak head to head dengan Mega ketimbang dengan SBY. Demikian pula dengan Mega. Bila patokannya hasil survei, mengalahkan Kalla jauh lebih mudah ketimbang menumbangkan SBY.

Menjelang Pemilu 2009, manuver-manuver terus dilakukan. Rakyat akan menjadi saksi dari itu semua. Apa pun yang dilakukan oleh para elite politik tersebut, yang terpenting janji-janji kesejahteraan rakyat harus segera diwujudkan. Negara harus mampu mencerdaskan dan melindungi rakyatnya. Untuk itu, salah satu prasyaratnya adalah negara harus bersih dari korupsi. Siapa pun presidennya....

22 March 2009

Incumbent Jadi Presiden!

Incumbent Becomes President!


Published by Indonesian media

Koran Jakarta, 20 March 2009


Oleh Refly Harun

Peneliti Senior Cetro,

Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris


Rasanya tidak susah menebak siapa yang bakal jadi presiden pada Pilpres 2009. Kalau tidak A, pasti B, atau juga C. Semuanya adalah incumbent. Mengapa incumbent?


Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dijelaskan dulu apa yang dimaksud dengan ‘incumbent’, kata yang sudah sangat populer dalam kamus politik Tanah Air. Menurut Kamus Oxford, incumbet bermakna person holding an official position. Dalam konteks politik, Wikipedia mengartikan incumbet sebagai ‘the holder of a political office’. Istilah ini, menurut kamus online tersebut, digunakan dalam pemilu untuk membedakan pertarungan antara pemegang jabatan dan bukan pemegang jabatan.


Dalam tulisan ini saya ingin menggunakan istilah incumbent dengan lebih longgar, yaitu menyangkut orang baik yang sudah pernah menjabat maupun lagi menjabat untuk posisi yang diperebutkan. Definisi longgar inilah yang menyebabkan saya menyimpulkan sejak awal bahwa presiden mendatang adalah incumbent.


Berdasarkan hasil survei yang dilakukan berulang-ulang dalam satu tahun terakhir, sudah hampir pasti race Pilpres 2009 akan mempertemukan kembali Presiden SBY dan mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Terakhir, survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari dan survei bersama LP3ES, LIPI, CSIS, dan Puskapol UI pada Maret kembali menempat SBY dan Mega sebagai dua besar kandidat presiden.


Peluang head to head bagi SBY-Mega makin besar karena UU Pilpres 2008 mensyaratkan perolehan 20 persen kursi atau 25 persen suara bagi nominasi presiden. Ketentuan yang tidak demokratis ini makin menemukan pembenarannya karena MK menolak pengujian pasal tersebut dengan menyatakan bahwa hal tersebut hanya perkara legal policy pembuat undang-undang pada putusan 18 Februari 2009.


Saat ini, praktis publik hanya menunggu calon ketiga. Rizal Ramli menyebut dua calon utama dengan Blok S (SBY) dan Blok M (Megawati). Ia lalu menyebut calon ketiga dengan Blok Perubahan alias dirinya sendiri. Sah-sah saja Rizal Ramli memiliki optimisme demikian. Namun, fakta menunjukkan ia belum cukup populer untuk menjadi kandidat presiden. Jangankan dibandingkan SBY-Mega, dibandingkan dengan calon seperti Hamengkubuwono, Prabowo, dan Wiranto saja Rizal Ramli tercecer jauh.


Dalam waktu yang tinggal empat bulan lagi hingga pemilihan Juli mendatang, tentu tidak mudah mendongkrak popularitas, kecuali ada momentum luar biasa, dan hal tersebut pastilah kejadian yang luar biasa, yang bisa menjungkirbalikkan segala prediksi. Namun, ini pun dengan satu kondisi: kendaraan apa yang mau dipakai. Bila parpol pengusung tidak mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara, tidak ada gunanya kandidat paling populer sekalipun.


Calon ketiga yang paling masuk akal karenanya adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Terlebih setelah yang bersangktuan menyatakan siap dan bersedia dijagokan sebagai capres dari Partai Golkar, partai pemenang Pemilu 2004. Dalam survey, JK bukanlah calon kuat, tetapi masalahnya ia mengontrol mesin besar bernama Golkar.


Bila JK menjadi calon ketiga, sempurnalah tesis incumbent jadi presiden. Dengan definisi longgar tentang incumbent tadi, JK bisa dikategorikan sebagai incumbent juga karena memegang posisi Wakil Presiden. Siapa pun tahu, JK tidaklah seperti wakil-wakil presiden terdahulu yang hanya menjadi ban serep, terutama di era Orde Baru. JK adalah sosok yang decisive. Kemampuan bertindaknya bahkan lebih cepat dari SBY sekalipun, walaupun lantaran sosoknya yang kalah mentereng dibandingkan SBY tidak cukup populer di mata masyarakat untuk dijadikan presiden.


Presiden Luar Biasa

Bila memakai kerangka politik normal, hanya SBY yang memiliki justifikasi untuk menjadi capres lagi karena ia adalah incumbent yang sesungguhnya. Pemilu kedua adalah ujian bagi incumbent. Bila rakyat puas atas kinerjanya, ada kemungkinan ia terpilih lagi. Bila sebaliknya, penantang yang akan menyodok. Incumbent yang kalah dari penantang tidak seharusnya mencalonkan diri lagi.


Sayangnya, politik Indonesia berjalan abnormal. Megawati yang sudah kalah dua kali dalam medan pertarungan presiden masih juga dijagokan. Pada Sidang Umum MPR 1999, Mega dikalahkan Abdurrahman Wahid, dan pada Pilpres 2004 kalah dari SBY. Kekalahan pada SU MPR 1999 dapat dimaklumi karena bukan pemilihan langsung. Namun, kekalahan pada Pilpres 2004 seharusnya sudah membuat Mega tidak layak lagi menjadi calon presiden. Dalam posisi sebagai incumbent, ia kalah. Artinya, rakyat tidak puas dengan kinerja pemerintahannya. Bisa dikatakan ia presiden gagal.


Pada Pilpres Amerika tahun 2000, Al Gore kalah dari Geroge Bush hanya karena suara electoral college-nya, tetapi dari segi popular vote ia yang menang. Fakta ini tidak menyebabkan Al Gore dijagokan lagi untuk maju sebagai capres. Tradisi politik AS menabukan orang yang sudah kalah maju kembali, walaupun belum tentu Al Gore kalah bila maju kembali pada Pilpres 2004.


Adapun soal JK, dalam tradisi yang politik yang normal pula, tidak seharusnya wapres maju dan menantang presidennya sendiri. Wapres biasanya dipersiapkan untuk menggantikan presiden bila masa jabatannya selesai karena batasan dua periode. Dalam tradisi politik AS, kita menyaksikan George Bush (senior) maju sebagai capres setelah menjadi wapresnya Presiden Ronald Reagen, dan Al Gore maju sebagai capres setelah menjadi wapresnya Presiden Bill Clinton.


Majunya wapres sebagai capres dimaksudkan untuk menjaga kontinuitas pemerintahan, menjaga prestasi presiden terdahulu. Bila rakyat merasa puas dengan kinerja presiden sebelumnya, ada kemungkinan wapres yang ‘nyapres’ terpilih. Hal itu terjadi dengan George Bush (senior) dan seharusnya terjadi pula dengan Al Gore bila patokannya popular vote.


Sulit bagi wapres yang ‘nyapres’ untuk memberikan alasan mengapa harus maju. Bila menyatakan tidak puas dengan pemerintahan, bukankah ia juga bagian dari pemerintahan yang ikut bertanggung jawab. Bila mengatakan ingin berbuat lebih sebagai presiden, hal itu terlalu mengada-ada. Saat ini pun banyak yang bisa dilakukan Kalla dalam posisi sebagai wapres. Bahkan, banyak yang menilai ia sesungguhnya the real leader.


Namun, sekali lagi politik Indonesia memang abnormal. Abnormalitas itu makin menemukan pembenarannya karena presiden dan wapres berasal dari parpol yang berbeda. Sejak awal, potensi perpecahan itu sudah tercium. Parpol pendukung wapres pasti tidak puas bila terus menjadi nomor dua, terlebih posisinya sebagai parpol pemenang.


Kalau boleh memilih, sebenarnya lebih menarik melihat SBY ditantang sosok-sosok baru yang bukan incumbent, yang kita sendiri belum tahu bagaimana rasa kepemimpinannya. SBY, Mega, dan Kalla adalah orang-orang yang sudah kita ketahui rasa kepemimpinannya. Terlepas dari kemajuan (atau kemunduran?) yang telah dicapai, rasanya mereka baru masuk kategori pemimpin biasa-biasa saja. Kita butuh pemimpin yang luar biasa, yang mampu membangkitkan bangsa ini dari banyak keterpurukan.


Sayangnya, atau sialnya, UU Pilpres 2008 yang kemudian diperkuat oleh putusan MK tidak membuka pintu selebar-lebarnya bagi pemimpin alternatif, sosok yang mungkin luar biasa. Maka, tidak ada yang bisa diucapkan selain menyatakan selamat kepada incumbent. Race Pilpres 2009 sudah berakhir dan incumbent memimpin Indonesia lagi.***


Birmingham, 13 Maret 2009

21 March 2009

Koalisi Permanen atau Koalisi Memanen

(Coalition in Indonesian Politics)

Published by Indonesian media
Republika, 18 March 2009

By Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro)

Belum lagi ketahuan hasil pemilu legislatif, para elite politik sudah mondar-mandir, berkunjung ke sana kemari, untuk menjajaki kemungkinan koalisi. Yang paling panas tentu saja pertemuan JK-Mega, 12 Maret lalu, yang menghasilkan lima kesepakatan. Salah satunya, membentuk pemerintahan dengan basis kuat di parlemen.

Belum begitu jelas ke mana arah koalisi tersebut karena kedua tokoh sudah menyatakan dan mendeklarasikan sebagai calon presiden. Sesama capres tentu tidak mungkin berkoalisi. Apa pun itu, pertemuan-pertemuan tokoh saat ini memang selalu diiringi mantra bernama 'koalisi'. Beberapa pengamat dan tokoh politik menambahi kata 'permanen' sehingga menjadi 'koalisi permanen'. Maksudnya jelas, koalisi tersebut sedapat mungkin bertahan paling tidak hingga akhir pemerintahan.

Dari desain ketatanegaraan kita, sebenarnya tidak ada yang namanya koalisi permanen. Yang ada adalah koalisi pengajuan pasangan capres dan cawapres. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang telah dibajak DPR dengan pembatasan presidential threshold 20 persen kursi dan 25 persen suara, menyatakan bahwa pasangan capres-cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Frase gabungan parpol peserta pemilu memberikan legitimasi konstitusional bagi pembentukan koalisi parpol dalam pengajuan pasangan capres-cawapres.

Pada Pilpres 2004, pasangan SBY-JK diajukan oleh tiga koalisi parpol, yaitu Partai Demokrat (PD), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dua parpol pengusung ini ikut pula terangkut dalam gerbong pemerintahan SBY-JK. Ketua Umum PBB saat ini, MS Kaban, menjadi menteri kehutanan, sementara Ketua Umum PKPI, Meutia Hatta, menjadi menteri negara peranan wanita. Keduanya menjadi petinggi parpol masing-masing setelah menjadi bagian pemerintahan, demikian pula dengan JK yang terpilih menjadi ketua umum Golkar setelah menjadi wakil presiden.

Dari perspektif hukum tata negara, koalisi pengajuan pasangan capres-cawapres itulah yang bersifat permanen. Bila presiden dan wakil presiden berhalangan bersamaan, parpol yang calonnya menjadi pemenang pertama dan kedua mengajukan pasangan calon untuk dipilih MPR. Dalam hal ini, misalnya, SBY-JK berhalangan tetap secara bersamaan, ketiga parpol yang mengajukan, yaitu PD, PBB, dan PKPI, berhak mengajukan pasangan calon ke MPR untuk ditandingkan dengan pasangan calon yang diajukan PDIP, karena calon dari partai ini (pasangan Megawati-Hasyim Muzadi) menjadi pemenang kedua dalam Pilpres 2004.

Pertanyaan yang menggelitik adalah, bagaimana bila salah satu atau salah dua parpol pengusung telah bubar? Hal ini sebenarnya sudah terjadi ketika kader PBB mendeklarasikan Partai Bintang Bulan dan PKPI berganti menjadi Partai Keadilan dan Persatuan (PKP). Saat itu, kedua parpol mengantisipasi pemberlakuan electoral threshold (ET) tiga persen yang tercantum dalam UU Pemilu 2003 (UU Nomor 12 Tahun 2003).
Untunglah aturan ET itu dihapuskan dan diganti dengan parliamentary threshold (PT) dalam UU Pemilu 2008 (UU Nomor 10 Tahun 2008). Terlebih, UU Pemilu 2008 memberikan tiket gratis bagi parpol yang memiliki kursi di DPR untuk ikut Pemilu 2009 melalui pemberlakuan Pasal 316d, yang kemudian dibatalkan MK secara terlambat karena dinilai bertentangan dengan konstitusi.

Seandainya PBB dan PKPI bubar dan SBY-JK berhalangan tetap--tetapi mudah-mudahan tidak pernah terjadi--akan terjadi komplikasi ketatanegaraan menyangkut parpol mana yang berhak mengajukan pasangan calon untuk dipilih di MPR. Apakah Demokrat saja karena PBB dan PKPI sudah bubar? Ataukah Demokrat ditambah Partai Bintang Bulan dan PKP?
Hukum formal, baik UUD 1945 maupun UU Pilpres (2003 dan 2008), tidak mengatur hal tersebut. Kekosongan hukum tersebut bisa saja ditambal melalui perppu, tetapi perlu diingat bahwa perppu pun harus minta persetujuan DPR. Kesimpulannya, bila hal tersebut terjadi, mekanisme politiklah yang harus menyelesaikannya karena hukum belum mengaturnya.

Kembali kepada koalisi permanen tadi, koalisi ini hanyalah soal etika politik. Hukum tidak mengaturnya. Jadi, bila ada anggota koalisi yang 'berkhianat', tidak bisa ditindak. Satu-satunya tindakan hanyalah dengan mengeluarkan wakilnya dari kabinet. Namun, itu pun belum tentu efektif karena wakil di kabinet belum tentu orang yang berpengaruh lagi. Ketika terjadi pergeseran kepemimpinan di PKB, dua menteri SBY dari PKB, yaitu Alwi Shihab dan Saifullah Yusuf, yang masing-masing menjabat sebagai ketua umum dan sekjen, tidak banyak lagi gunanya untuk memantapkan dukungan PKB terhadap pemerintahan SBY-JK. PKB tiba-tiba menjadi oposisi di bawah kepemimpinan baru.

Masalah lain adalah sering terjadi pergeseran kepemimpinan pascapilpres. Ketika SBY-JK baru dilantik pada 20 Oktober 2004, DPR terbelah menjadi dua blok, yaitu Koalisi Kebangsaan, yang di dalamnya terdapat PDIP-Golkar, dan Koalisi Kerakyatan, di dalamnya terdapat Demokrat dan parpol-parpol menengah. Koalisi Kerakyatan mendeklarasikan dirinya sebagai blok oposisi pemerintahan SBY-JK.

Ternyata, koalisi tersebut tidak bertahan lama. Begitu JK terpilih menjadi wakil presiden, Golkar pun langsung berada di sisi pemerintah. Alhasil, hanya PDIP yang benar-benar tidak terwakili di kabinet sebagai parpol besar. Bila sekarang ada pertemuan JK-Mega dengan kesepakatan membentuk pemerintahan dengan dukungan kuat di parlemen, yakinlah hal tersebut tidak akan berlangsung lama. Hal itu akan sangat bergantung pada perubahan kepemimpinan di masing-masing parpol.

Yang paling potensial menyeberang adalah Golkar. Misalkan SBY menang dalam pilpres--paling tidak begitulah menurut berbagai lembaga survei--Mega dan JK akan menarik gerbongnya menjadi oposisi. Namun, hal itu bisa segera berubah ketika terjadi perubahan kepemimpinan di Golkar.

Saat ini, setelah JK mendeklarasikan kesiapannya menjadi capres, beberapa elemen Golkar segera membaca peluang untuk menduetkan SBY dengan tokoh Golkar lainnya. Akbar Tandjung, pentolan Golkar yang masih berpengaruh, sudah menawarkan diri. Saya menduga Fadel Muhammad dan Aburizal Bakrie juga sedang mencari peluang ke arah sana. Adapun Surya Paloh dan Hamengku Buwono berupaya merapat ke Mega.

Seandainya SBY memilih tokoh Golkar untuk menjadi pasangannya dan parpol-parpol menengah, seperti PKS, ikhlas untuk hanya sekadar mendapatkan porsi yang lebih banyak di kabnet, tokoh tersebut berpotensi merebut kepemimpinan Golkar pada 2010, siapa pun dia. Karakter Golkar sangat jelas: parpol ini sangat tidak berpengalaman dan kelihatannya tidak mau menjadi oposisi, selalu ingin menikmati manisnya kekuasaan.

Untuk menutup tulisan ini, koalisi permanen atau apa pun istilahnya hanyalah cara untuk memperoleh kemenangan dalam race Pilpres 2009. Yang lebih tepat bukan 'koalisi permanen', melainkan 'koalisi memanen' alias memanen kemenangan. Setelah kemenangan diperoleh, politik akan bergerak dengan logikanya sendiri. Konstelasi bisa berubah sewaktu-waktu. Dan, itulah politik!

Memberi Makna Sistem Proporsional Terbuka

(Give Meaning to the Open-List PR System)

This article was published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 11 March 2009

By Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro),
Chevening Fellow University of Birmingham, UK

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009, 26 Februari lalu. Perppu tersebut berisi dua materi, yaitu mengenai rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) dan pengesahan pemberian lebih dari satu tanda. Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana menyatakan bahwa perppu tersebut perlu dikeluarkan untuk menyelamatkan suara rakyat. Pernyataan itu tidak berlebihan. Hasil simulasi International Foundation for Electoral System (IFES) di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, misalnya, memperlihatkan tingginya persentase suara tidak sah, yaitu di atas 20 persen. Padahal, tingkat toleransi ketidakabsahan surat suara menurut standar internasional adalah 2,5-3 persen (IFES, 2009).

Kemungkinan banyaknya suara tidak sah itu sebenarnya sudah pernah penulis kemukakan ketika rapat mengenai desain surat suara dan tata cara pemberian suara dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam kapasitas sebagai konsultan Partnership for Governance Reform (PGR) sekitar Agustus 2008. Demikian pula ketika menjadi pembicara dalam diskusi terbatas di IFES, yang antara lain dihadiri anggota KPU (Andi Nurpati) dan beberapa anggota DPR.

Dalam hal desain surat suara, KPU dibatasi ketentuan Pasal 143 UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008) yang menyatakan bahwa surat suara terdiri atas empat komponen, yaitu (1) tanda gambar parpol, (2) nomor urut parpol, (3) nomor urut calon, dan (4) nama calon. Adapun dalam hal tata cara pemberian suara, KPU dibatasi ketentuan Pasal 153 dan Pasal 176 UU Pemilu. Pasal 153 berisi antara lain mengenai keharusan pemberian satu tanda. Sementara Pasal 176 berisi ketentuan mengenai suara sah, yaitu memberikan tanda (satu kali) pada kolom nama parpol atau kolom nomor calon atau kolom nama calon (alternatif).

Bila dicermati, antara Pasal 143 dan Pasal 176 tidak sinkron. Bila diterapkan secara konsisten desain surat suara yang diperintahkan Pasal 143, ada satu kolom yang tidak tersedia, yaitu kolom nama parpol. Pasal 143 menyebutkan tanda gambar parpol, bukan nama parpol. Tanda gambar parpol dan nama parpol adalah dua hal yang berbeda. Terbukti, dalam membuat desain surat suara, KPU akhirnya menambahkan nama parpol secara lengkap di luar tanda gambar masing-masing parpol. Dengan cara pandang normatif, bisa dikatakan desain seperti ini melanggar Pasal 143 karena memuat suatu hal yang tidak diperintahkan, yaitu nama parpol.

Menyadari pasal-pasal dalam UU Pemilu sering tidak sinkron, demi menyelamatkan suara rakyat dan membuat sistem proporsional terbuka bermakna, saya mengusulkan sebuah terobosan hukum, yaitu dengan menyediakan kolom penandaan bagi pemilih. Dengan demikian, pemilih tidak memilih di kolom-kolom alternatif seperti disebut Pasal 176, yang berpotensi menyebabkan suara tidak sah, melainkan langsung pada kolom penandaan yang dapat diletakkan di sisi kiri setiap nama calon, yang menggambarkan pilihan terhadap parpol dan calon sekaligus. Kampanye kepada pemilih akan lebih mudah, misalnya dengan tema “tandailah pilihanmu pada kolom penandaan”.

Cara lain yang tidak menyimpang dari undang-undang adalah dengan menyediakan kolom nama parpol sejajar dengan kolom nomor urut dan nama calon. Nantinya, calon boleh memilih nama parpol atau nomor urut calon atau nama calon sebagaimana diperintahkan Pasal 176. Pilihan tetap dengan satu tanda, namun suara jatuh kepada parpol dan calon sekaligus. Tidak ada suara yang jatuh kepada parpol saja. Hal ini akan membuat sistem proporsional terbuka lebih berarti.

Dua Skenario
Sayangnya, usulan menyelamatkan suara rakyat dan memperkuat sistem proporsional terbuka itu ditolak. Selain alasan teknis betapa susahnya mengadopsi usulan dalam desain surat suara yang memuat banyak partai dan kandidat, alasan yang lebih substantif adalah dalam sistem proporsional, pilihan terhadap parpol adalah primer (wajib), sedangkan pilihan terhadap calon adalah sekunder (tidak wajib). Tidak logis bila pemilih dilarang memilih parpol dan diarahkan kepada calon saja. Dalam keadaan normal pendapat ini tidak keliru, tetapi jadi bermasalah bila diterapkan pada ketentuan satu tanda.

Saya sudah membayangkan betapa banyaknya suara tidak sah bila pemilih dibolehkan memilih parpol atau kandidat dengan kebijakan satu tanda tetap dipertahankan. Pimpinan parpol akan mengampanyekan parpol, misalnya dengan menyebut nomor urut parpol. Sedangkan kandidat akan mengampanyekan dirinya sendiri dengan menyebutkan nomor urut mereka. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU akan mengampanyekan dua-duanya, yaitu pilihlah parpol atau calon, bukan pilihlah parpol dan calon.

Komunikasi yang baik adalah single message, hanya berisi satu pesan, sehingga mudah dicerna. Dalam kasus di atas, ada tiga pesan yang akan diterima: dari pimpinan parpol yang berisi pesan pilihlah parpol; dari kandidat yang berisi pesan pilihlah mereka; dan dari KPU yang berisi pesan pilihlah parpol atau kandidat. Bila pesan ini sampai ke pemilih awam, yang merupakan mayoritas pemilih kita, ada dua skenario yang mungkin terjadi. Pertama, mereka akan berpikir bahwa memilih parpol dan kandidat secara bersamaan adalah sah sebagaimana Pemilu 2004. Kedua, karena bingung, mereka memilih parpol saja, karena demikianlah kebiasaan pemilu selama ini. Bila skenario pertama yang terjadi, akan banyak suara tidak sah. Sebaliknya, bila skenario kedua yang mengemuka, tak ada gunanya sistem proporsional terbuka yang membengkakkan biaya pemilu, terutama dari sisi pengadaan kertas dan surat suara. Fenomena Pemilu 2004 akan terulang kembali. Dari 550 anggota DPR yang terpilih, hanya dua orang yang memenuhi bilangan pembagi pemilihan (BPP), yaitu Hidayat Nurwahid dan Saleh Djasit.

Untunglah ada putusan MK yang membatalkan Pasal 214, 19 Desember 2008. Di tengah kontroversi yang mengiringinya, bagi saya, putusan tersebut merupakan berita baik dikaitkan dengan pilihan sistem proporsional terbuka. Mereka yang tetap mengarahkan pilihan terhadap parpol (saja) tidak berkutik lagi dengan adanya putusan tersebut. Munculnya Perppu Nomor 1 Tahun 2009 makin menguatkan putusan MK. Perppu tersebut tidak hanya menyelamatkan suara rakyat, melainkan membuat lebih bermakna sistem proporsional terbuka. Kompetisi di antara calon untuk merebut kursi legislatif akan lebih adil dan demokratis dengan sistem suara terbanyak dan berkurangnya potensi suara tidak sah.***

Birmingham, Inggris, 6 Maret 2009

Robohnya Satu Tiang Demokrasi

(The Ruin of One Pillar to Democracy)

This article was published by Indonesian media
Koran Tempo, 5 March 2009

By Refly Harun
Senior Researcher at Centre for Electoral Reform (Cetro),
Chevening Fellow University of Birmingham, UK

Ada dua berita datang dari Mahkamah Konstitusi (MK). Satu berita baik, satu lagi berita buruk. Berita baik, MK membatalkan pasal tentang pembreidelan pers dalam UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008), 24 Februari 2009. Berita buruk, MK menolak pengujian UU Pilpres (UU Nomor 42 Tahun 2008), 18 Februari lalu. Tulisan ini berkehendak mengobservasi lebih lanjut berita buruk tersebut, walaupun tetap dengan memberikan penghargaan yang besar terhadap berita baik.

Putusan MK yang menolak pengujian Pasal 9 UU Pilpres tentang syarat pengajuan capres merupakan putusan terburuk dalam sejarah MK. The worst decision ever. Tidak ada nalar yang komprehensif. Argumentasi yang keluar dari MK hanyalah, syarat persentase adalah legal policy pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) berdasarkan mandat UUD 1945, bahwa tata cara pemilihan presiden selanjutnya diatur dengan undang-undang (Pasal 6A ayat [5] UUD 1945). Argumentasi ini bukanlah hal baru. Hampir semua yang menyetujui syarat persentease mencatut pasal tersebut sebagai landasan legal-konstitusional untuk memberlakukan ambang batas nominasi capres dan cawapres.

Pertanyaan yang patut dilontarkan adalah, apakah syarat pengajuan capres merupakan bagian dari tata cara, yang berarti soal teknis administratif, ataulah soal yang substantif? Bila dilihat betapa panasnya perdebatan di DPR mengenai besaran syarat pengajuan capres hingga menjadi materi akhir yang disepakati fraksi-frasi dalam pembahasan RUU Pilpres, tidak bisa tidak, hal tersebut merupakan sesuatu yang substantif. Bayangkanlah bila pada suatu saat, karena keberhasilan parliamentary threshold, hanya ada dua atau tiga fraksi di DPR dan mereka menyepakati untuk menaikkan syarat menjadi 35 persen sebagaimana pernah dilontarkan Golkar dalam tahap awal pembahasan RUU Pilpres. Itu artinya hanya akan ada dua calon presiden. Tidak akan ada calon presiden ketiga, keempat, dan seterusnya, betapa pun baik dan hebatnya sang calon, termasuk dukungan sangat besar dari rakyat.

Dengan syarat 20 persen kursi dan 25 persen saja, diperkirakan hanya akan ada maksimal tiga calon presiden, dan bukan tidak mungkin mengkrucut menjadi dua. Artinya, medan pertarungan capres akan diisi oleh calon dari partai besar saja. Padahal, calon tersebut bisa jadi tidak berasal dari suatu proses yang demokratis, sebagaimana halnya pemilihan pendahuluan (primary election) di Amerika, melainkan sekadar ditetapkan karena yang bersangktuan ketua umum atau sosok sentral partai, dan partai di Indonesia memang masih elitis-oligarkis.

Pada titik inilah saya memandang lima hakim MK yang menolak pengujian gagal memahami hakikat demokrasi. Salah satu tiang demokrasi adalah pemilu yang adil dan demokratis (fair and democratic election). Indonesia sangat dipuji dunia internasional ketika berhasil menyelenggarakan pemilu yang relatif adil dan demokratis pada 1999 dan 2004. Pada bagian akhir laporannya, the Carter Center misalnya menulis, “The Center congratulates Indonesia for the series of successful elections in 2004 and offers its support to the continuing consolidation of democracy in Indonesia.”

Pemilu yang adil dan demokatis tersebut kini telah terbajak di tahap awal karena putusan MK. Untuk pilpres mendatang, tokoh-tokoh yang saat ini sibuk berkampanye untuk merebut pole position barangkali harus menghentikan upayanya. Race pilpres mendatang rasanya hampir pasti diisi oleh tiga nama: SBY (Demokrat), Megawati (PDIP), dan salah seorang kandidat dari Partai Golkar (Jusuf Kalla?). Berdasarkan hampir semua hasil survei, Demokrat, PDIP, dan Golkar diperkirakan akan menempati posisi tiga besar.

Ada satu argumentasi yang juga kerap dikemukakan mengapa kita perlu persentase tertentu dalam pengusulan capres, yaitu memperkuat sistem presidensial. Presiden tidak boleh menjadi minority president karena akan lemah bila berhadapan dengan DPR. Logika ini bagi saya sangat sesat baik dari segi teoretis maupun fakta. Efektivitas sistem presidensial bukan tergantung dari besarnya persentase dukungan pengajuan capres, melainkan pada besarnya fraksi pendukung presiden di parlemen. Fraksi tersebut harus bersifat tetap, tidak bergantung dari satu isu ke isu lain.

Dalam konteks saat ini, pendukung presiden di DPR hanya sekitar 7 persen, yang berasal dari Fraksi Demokrat. Fraksi inilah yang secara loyal mendukung kebijakan presiden. Merapatnya Golkar ke kubu pemeritnah bukan karena ikut mengajukan pasangan SBY-Kalla melainkan karena perubahan kepemimpinan parpol. Namun, harus dicatat Fraksi Golkar tidak selalu berada di sisi pemerintah. Dalam banyak isu Golkar justru menjadi penentang kebijakan pemerintah.

Parpol yang ikut menominasikan pasangan SBY-Kalla seperti Partai Bulan Bintang (PBB) pun dalam banyak isu menjadi penentang pemerintah dan tidak bisa diharapkan loyalitasnya terus-menerus. Sebagai contoh, betapa marahnya PBB ketika SBY memberhentikan Yusril sebagai Menteri Sekretaris Negara.

Efektivitas sistem presidensial karenanya harus bisa dicapai dengan melakukan penyederhanaan jumlah parpol secara konstitusional. Dalam konteks ini sudah tepat putusan MK lain yang menolak penghapusan parliamentary threshold (PT), 13 Februari 2009. Sebab, PT adalah upaya konstitusional untuk penyederhanaan parpol. Dengan PT diperkirakan jumlah parpol di DPR berkisar 7-8 parpol saja, jauh lebih baik ketimbang 16 parpol yang ada saat ini. Di masa depan, secara alamiah diharapkan jumlah parpol hanya 3-5, yang betul-betul mencerminkan aliran politik yang ada di Indonesia. Dengan jumlah parpol yang lebih sedikit di DPR, lebih mudah bagi presiden untuk mengontrol dan bernegosiasi dengan parlemen. Maka, apa yang dikatakan Scott Mainwarning (1993), bahwa “the combination of presidentialism and multipartism makes stable democracy difficult to sustain” dengan mengambil contoh pengalaman Amerika latin adalah lebih tepat pada konteks penyederhanaan jumlah parpol, bukan pada besar tidaknya dukungan nominasi kepada presiden dan wakil presiden.

Hari-hari terakhir ini ada kegembiraan tertentu bagi saya: Birmingham dan daratan Inggris lainnya sudah mulai hangat, setelah sempat ditimpa badai salju terburuk selama 18 tahun terakhir awal Februari lalu. Namun, putusan MK sama sekali tidak memberikan kehangatan bagi demokrasi kita yang sedang berkembang. Putusan tersebut benar-benar telah merobohkan satu tiang demokrasi kita!

Birmingham, 25 Februari 2009

Kecurangan Pemilu Kita

(Frauds in Our Elections)


This article was published by the Indonesian media

Media Indonesia, 4 March 2009


By Refly Harun

Senior Researcher Centre for Electoral Reform (Cetro),

Chevening Fellow University of Birmingham, UK


Chris Game, salah seorang dosen di Universitas Birmingham yang banyak mengamati fenomena pemilu, dengan berapi-api mengungkapkan betapa pemilu di Inggris banyak diwarnai kecurangan. Yang paling menonjol adalah memakai jati diri orang lain untuk memberikan suara. Seseorang bisa memberikan suara berkali-kali.

Hal tersebut mudah dilakukan karena pemilih tinggal datang ke TPS (tempat pemungutan suara) atau polling station dan menyebutkan jati dirinya kepada petugas. Petugas akan mengecek apakah yang bersangkutan terdaftar atau tidak. Bila terdaftar, yang bersangkutan diberikan surat suara (ballot paper) lalu kemudian memilih. Petugas tidak menanyakan kartu identitas pemilih semacam KTP, kartu pemilih, dan lainnya. Setelah memilih pun tidak diberlakukan celupan tinta ke telunjuk. Celakanya ketika yang empu jati diri sesungguhnya datang ke TPS dan mendapati sudah ada yang menggunakan identitasnya, petugas tinggal menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak bisa memilih karena sudah ada yang memilih dengan menggunakan nama yang bersangkutan.

Proses pemungutan suara seperti ini memang rawan kecurangan. Hanya, yang membuat saya tersenyum mendengar penjelasannya, bahwa kecurangan yang dia ungkapkan secara berapi-api dan katanya sangat memalukan itu tidak seberapa dibandingkan negeri kita. “Bagi saya, apa yang coba Anda terangkan tidak ada apa-apanya, nothing. Kecurangan pemilu kami jauh lebih kompleks dari yang apa Anda jelaskan.” Saya menjelaskan kepadanya tanpa bermaksud bangga bahwa pemilu di Indonesia adalah gudangnya kecurangan. Sama sekali tidak.

Vote buying, praktik membeli suara, adalah salah satu jenis kecurangan yang sering disebut dalam referensi pemilu. Calon berupaya mempengaruhi pemilih dengan segala macam cara, yang paling sering adalah dengan memberikan sejumlah uang, sehingga terjadi apa yang sering disebut dengan istilah politik uang (money politics). Di Inggris hal ini tidak terlalu menonjol, untuk mengatakan tidak ada. Di Indonesia, dipraktekkan hampir semua parpol dan kandidat. Rasanya hampir tidak ada parpol yang tidak melakukan praktik money politics. Walapun UU Pemilu telah melarang dan mengancam pelakunya, praktik seperti ini bertambah subur, terlebih bila hari pemungutan suara (polling day) tinggal hitungan jari.

Untuk konteks Indonesia, vote buying pun bukan sesuatu yang wah, walaupun praktik seperti ini tetap tidak bisa ditolerir. Bayangkanlah berapa uang yang harus keluar untuk menyuap pemilih. Itu pun tidak menjadi jaminan pemilih akan memilih mereka. Di bilik suara, who knows, pemilih memilih apa. Tidak heran bila salah satu bait dalam lagu gerakan antipolitsi busuk berbunyi, “ambil saja uangnya, tapi jangan pilih mereka”. (Masalahnya, apakah kalau semua memberi uang lalu tidak perlu pilih siapa-siapa. Golput hanya akan menyebabkan “bad politicians are sent to Senayan by people who don’t vote.”)

Untuk Indonesia kontemporer, praktik membeli petugas pemilu jauh lebih berbahaya. Parpol atau kandidat tinggal menyuap petugas penghitungan suara di berbagai tingkatan yang memungkinkan. Bila di TPS tidak memungkinkan karena disaksikan langsung masyarakat, bisa saja dilakukan di PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, bahkan bukan tidak mungkin di KPU sendiri, misalnya melalui petugas yang menerima dan memasukkan hasil pemilu dari sejumlah daerah ke komputer. Salah ketik sedikit saja ketika memasukkan data, hasil pemilu bisa berubah total.

Kesempatan seperti itu bertambah besar karena pengumuman hasil pemilu tersentalisasi di Jakarta. Hasil resmi pemilu adalah apa yang diumumkan KPU, yang menurut UU Pemilu maksimal 30 hari setelah hari pemungutan suara. Pada Pemilu 2004, misalnya, pemungutan suara dilakukan pada 5 April dan KPU baru bisa mengumumkan hasil pemilu 5 Mei. KPU memanfaatkan waktu maksimal yang diizinkan undang-undang. Bila ada perbedaan antara hasil rapat pleno KPU di daerah dan yang diumumkan KPU, hasil terakhirlah yang dipegang.

Ketika masih menjadi staf ahli Mahkamah Konstitusi (MK) dan ikut menangani sengketa hasil Pemilu 2004, saya ikut memeriksa kecurangan yang dilakukan oleh empat anggota KPU Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Empat orang anggota KPU Sintang berkolaborasi dengan kandidat salah satu parpol, dengan cara mengubah distribusi perolehan suara. Suara parpol-parpol yang tidak berpeluang lagi memperoleh kursi dialihkan sebagian kepada parpol dari calon tersebut. Dengan cara demikian, sang calon mendapatkan kursi DPR.

Parpol yang merasa berhak atas kursi DPR tersebut lalu mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK. Saksi terkuatnya adalah Ketua KPU Kabupaten Sintang sendiri, yang bersumpah-sumpah di hadapan panel hakim MK bahwa hasil pemilu yang diumumkan dalam rapat pleno mereka bukanlah seperti apa yang diumumkan KPU. Kelucuan terjadi di sidang MK. Kuasa hukum KPU yang mewakili kepentingan KPU Kabupaten Sintang tidak bisa berbuat apa-apa, karena yang berkelahi di sidang MK adalah para anggota KPU Kabupaten Sintang sendiri, antara ketua dan empat orang anggotanya. Seharusnya, semua anggota KPU baik di pusat maupun di daerah harus mempertahankan hasil yang telah mereka tetapkan dan umumkan. Namun, karena KPU(D) sendiri yang curang, dan pelakunya tidak semua anggota KPU(D), tidak heran bila debat terjadi antarsesama anggota KPU(D) sendiri. Putusan MK akhirnya memenangkan Ketua KPU Kabupaten Sintang. Empat anggota yang berlaku curang tersebut telah dipecat.

Birokrasi penghitungan suara yang panjang dan lamanya waktu pengumuman hasil pemilu memberikan peluang terjadinya kecurangan. Centre for Electoral Reform (Cetro) pernah mengusulkan agar rantai penghitungan suara diperpendek. Usulan tersebut ternyata diakomodasi baik dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu maupun UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. PPS kini tidak lagi melakukan rekapitulasi penghitungan suara. Hasil dari TPS langsung dihitung di PPK. PPS hanya mengumumkan hasil tiap TPS. Selama ini, kecurangan kerap terjadi di PPS karena proses penghitungannya jarang diawasi saksi-saksi dari semua parpol.

Sayangnya, usulan yang berhubungan dengan waktu pengumuman hasil pemilu tidak diakomodasi keseluruhan. Usulan Cetro, pengumuman resmi hasil pemilu dilakukan di tingkatan masing-masing. Untuk pemilihan anggota DPR dan DPD dilakukan oleh KPU, untuk anggota DPR provinsi oleh KPU provinsi, dan untuk DPRD kabupaten/kota oleh DPRD kabupaten/kota. Usulan ini hanya diakomodasi sebagian. KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk mengumumkan hasil pemilu untuk tingkatannya. Namun, hasilnya tetap harus dibawa ke Jakarta untuk diumumkan secara nasional oleh KPU. Pengumuman KPU-lah yang resmi dan menjadi obyek perkara di MK bila ada yang mempersoalkan. Dengan proses seperti ini, yang notabene mirip dengan Pemilu 2004, kasus Kabupaten Sintang tidak muskil terulang kembali.

Mendengar pernyataan soal “nothing” tadi, Chris Game masih meyakinkan kepada saya bahwa kecurangan di Inggris termasuk luar biasa dan tidak bisa diterima karena terjadi di negara yang demokrasinya sudah mapan, sudah ratusan tahun menjalani proses demoraksi. “Itu tidak bisa dibenarkan bila terjadi di sini,” katanya. Semoga dia tidak hendak mengatakan, bahwa di negara demokrasi baru (new democracy) seperti Indonesia kecurangan pemilu (electoral frauds) adalah hal biasa dan bisa dibenarkan…***


Birmingham, 28 Februari 2008

Buruk Legislasi Undang-Undang Dibelah

Koran Jakarta, 28 Februari 2009

Oleh Refly Harun
Peneliti Senior Cetro; Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris

Untuk keempat kalinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan pengujian UU Pemilu (UU Nomor 10 Tahun 2008). Putusan paling akhir adalah dikabulkannya pengujian pasal tentang pembredelan pers pada 24 Februari 2009. Sebelumnya, pada 1 Juli 2008, MK mengabulkan sebagian tuntutan DPD bahwa calon anggota DPD harus berdomisili di daerah yang diwakilinya. Putusan berikutnya pada 10 Juli 2008, MK mengabulkan pembatalan Pasal 316d mengenai tiket gratis parpol pemilik kursi di DPR untuk mengikuti Pemilu 2009. Yang menyita paling banyak perhatian adalah pembatalan Pasal 214 mengenai penetapan caleg terpilih dari sistem kuota 30 persen dan nomor urut ke suara terbanyak, 19 Desember 2008.

Banyaknya ketentuan yang dibatalkan menyiratkan satu hal: betapa buruknya kualitas legislasi DPR. Pernyataan ini tidak berlebihan bila mengambil contoh UU Pemilu. Diajukan oleh pemerintah pada Mei 2007, UU Pemilu baru bisa diselesaikan pada 3 Maret 2008 (kurang lebih 9 bulan). Rencana paripurna yang telah dijadwalkan terus-menerus diundur karena ketidaksepakatan fraksi-fraksi di DPR mengenai beberapa materi. Awalnya, rapat paripurna pengesahan RUU akan digelar pada 27 Desember 2007, tetapi gagal dilaksanakan karena pembahasan jauh dari selesai. Anggota DPR keburu reses. Rapat paripurna lalu dijadwalkan pada 26 Februari 2008, tetapi lagi-lagi gagal. Pada 28 Februari rapat paripurna berhasil dilaksanakan, tetapi belum semua materi sempat diputuskan. Rapat paripurna pun dilanjutkan pada 3 Maret 2008 dan berhasil mengakhiri debat panjang RUU Pemilu.

Meski RUU sudah diketok palu, beberapa anggota DPR yang tergabung dalam tim sinkronisasi masih terus bekerja untuk menyempurnakan draf yang sudah disetujui dalam rapat paripurna tersebut. Masalahnya, belum semua pasal tersusun rapi, terutama pasal yang divoting, yaitu mengenai penentuan perolehan kursi parpol untuk pemilihan anggota DPR. Tidak heran kemudian undang-undang itu sendiri baru ditandatangani dan diundangkan pada 31 Maret 2008, padahal tahapan Pemilu 2009 sudah harus dimulai pada 5 April 2008.

Skandal besar sebenarnya telah terjadi pada waktu persetujuan RUU Pemilu. Pasal RUU yang disetujui berjumlah 316, tetapi yang kemudian diserahkan ke presiden, ditandatangani, dan kemudian diundangkan berjumlah 320. Memang tidak ada penambahan pasal-pasal baru yang substantif di belakang pintu selain dari yang ditetapkan dalam rapat paripurna. Terjadinya penambahan pasal diakibatkan sinkronisasi yang dilakukan tim sinkronisasi. Walaupun demikian, hal ini tetaplah skandal besar. Dari sisi legal making process hal seperti ini jelas tidak bisa dibenarkan.

Seharusnya, menjelang rapat paripurna, semua draf harus sempurna. Tidak hanya jumlah pasal dan kata-kata yang tercantum dalam pasal, bahkan bila perlu sampai titik dan koma, termasuk penggunaan huruf besar dan huruf kecil. Titik-koma dan penggunaan huruf besar-huruf kecil bukan perkara sepele dalam suatu legal drafting. Penggunaan tanda baca yang berbeda dapat memunculkan arti yang berbeda pula. Dengan proses legislasi yang amburadul, tidak heran bila UU Pemilu kemudian menuai banyak gugatan dari pihak-pihak yang merasa tidak puas. Dikabulkannya pengujian telah menunjukkan bahwa undang-undang yang dihasilkan memang bermasalah, beberapa materi mengandung suatu ketentuan yang bertentangan dengan konstitusi.

Dari banyaknya undang-undang yang diuji dan kemudian dikabulkan, ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik. Pertama, soal rasionalitas. Membuat undang-undang tidak boleh diartikan sekadar kuat-kuatan suara. Harus ada rasionalitas yang dapat diterima di balik pengajuan suatu ketentuan. Dalam kasus Pasal 214 UU Pemilu, jelas rasionalitas itu tidak bekerja. Bagaimana mungkin ada drafting yang menyatakan bahwa bila ada dua kandidat yang mencapai minimal 30 persen, sementara kursi satu, dikembalikan ke nomor urut. Tidak peduli kandidat yang nomor urut di bawah perolehan suaranya lebih banyak. Jelas pasal ini tidak rasional dan menimbulkan ketidakpastian serta dampak yang buruk bila diterapkan. Kepentingan elite parpol jelas tergambar di sini. Hal ini merupakan kolaborasi elite di DPR untuk membelokkan kehendak mayoritas rakyat terhadap calon.

Kedua, yang tak kalah pentingnya adalah soal teknis pembentukan undang-undang. Bagi saya, legal making process di DPR saat ini sangat bermasalah: tidak efektif dan tidak efisien. Para anggota DPR banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak substansial. Bahkan, kadang-kadang pembentukan undang-undang adalah cara bagi-bagi kesenangan, misalnya dengan mengadakan studi banding ke negara lain yang belum tentu bermanfaat secara langsung dengan proses pembentukan undang-undang. Dalam satu-dua kasus, seperti yang pernah diceritakan seorang anggota DPR, studi banding dilakukan setelah pembahasan undang-undang selesai!

Persoalan efektif dan efisien itu terkait dengan metode pembahasan suatu RUU. Beberapa contoh yang bisa dikemukakan, misalnya, mengenai pembuatan daftar inventarisasi masalah (DIM). Bila suatu RUU datang dari pemerintah, 10 fraksi harus membuat DIM. Hampir semua hal dikomentari di dalam DIM sehingga menghasilkan tumpukan kertas yang luar biasa tebalnya. Seharusnya fraksi membicarakan hal-hal substansial saja yang merupakan ide pokok suatu undang-undang, setelah itu diserahkan ke legal drafter untuk merumuskannya secara baik. Tidak perlu para anggota DPR sendiri yang merumuskan hingga titik-koma.

Contoh lain mengenai kehadiran para anggota DPR yang membahas RUU. Sering yang datang orang yang berbeda sehingga pembahasan yang sudah dilakukan sebelumnya terpaksa diulang kembali. Atau, para anggota yang hadir tidak terlalu mengerti mengenai materi yang dibahas. Mereka melontarkan suatu pendapat tanpa terlebih dulu membaca materi yang ada. Seharusnya, para anggota DPR tidak perlu bertindak seperti ‘tukang’ membuat undang-undang. Fungsi utama mereka adalah mewakili kepentingan rakyat. Soal-soal teknis bisa diserahkan kepada staf ahli. Masalahnya, karena datang rapat berarti uang, sering peran staf ahli tidak terlalu berguna. Dengan catatan, datang pun kadang sekadar mengisi daftar hadir untuk pertanggungjawaban administrasi keuangan.

Di masa depan, bila hal-hal substansial dan teknis tersebut tidak dibenahi, produk legislasi DPR akan bertambah buruk. Dampak lanjutannya akan makin banyak undang-undang yangh diajukan ke MK untuk dimintakan pembatalan. Bukan tidak mungkin pula, makin banyak pengujian yang dikabulkan. Karena itu, proses pembuatan undang-undang harus segera dibenahi, terutama oleh DPR periode baru mendatang. Jangan sampai buruk legislasi mengakibatkan banyak undang-undang dibelah!

Birmingham, 26 Februari 2009

Kalla: Maju Kena Mundur Kena

Jurnal Nasional, 25 Februari 2009

Skenario Kalla adalah, bila tidak kuat bertarung di internal Golkar atau kalah, tinggal mencari kendaraan lain. Surya tampaknya mau merapat ke Mega, demikian pula Fadel dan Hamengkubuwono.

Refly Harun

Peneliti Cetro; Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris

Pernyataan yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan kesediaan untuk dicalonkan sebagai presiden dari Partai Golkar, partai pemenang Pemilu 2004. Ditunggu-tunggu, katakan demikian, karena pernyataan kesedian itu menentukan banyak hal, terutama mengatur posisi dalam menghadapi perhelatan pemilihan presiden (pilpres) mendatang.

Bagi internal Golkar, kesedian Kalla berarti kepastian bahwa Golkar akan maju dengan capresnya sendiri, tidak bermimpi untuk sekadar menjadi ban serep presiden. Petarung di lingkaran Golkar bisa langsung mengambil kuda-kuda. Selain Kalla, setidaknya ada lima orang di lingkungan Partai Beringin yang siap bertarung dalam medan pilpres, entah sebagai capres maupun cawapres. Sebut saja Surya Palloh, Aburizal Bakrie, Sri Sultan Hamengkubuwono, Fadel Muhammad, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung.

Surya dan Aburizal pernah bertarung dalam medan konvensi presiden Partai Golkar hingga titik akhir, yang akhirnya dimenangkan Wiranto. Hamengkubuwono telah mendeklarasikan keinginan menjadi capres, dan sudah menawarkan diri ke mana-mana. Fadel juga telah menyampaikan sinyal kuat paling tidak untuk posisi cawapres setelah sangat bersinar di Gorontalo. Agung punya posisi politik yang kuat sebagai ketua DPR. Tidak ada jabatan yang lebih hebat dari ketua DPR selain jabatan presiden dan wakil presiden. Terakhir, sebagai mantan ketua umum Golkar dan masih punya pengaruh besar, Akbar tentu tak mau berdiam diri untuk menjadi pertapa politik.

Masalahnya, hanya akan ada satu orang dari Golkar yang maju sebagai capres dan besar kemungkinan tidak ada cawapres dari internal. Dengan persyaratan harus memiliki 20 persen kursi atau 25 persen suara, Golkar dan parpol-parpol lain mau tidak mau harus melirik mitra koalisi. Bila capres dari Golkar, cawapres haruslah dari parpol lain. Jadi, walau sebaik atau sehebat apa pun kader Golkar, kereta parpol hanya bisa memuat satu penumpang karena di tengah jalan harus mengangkut penumpang lain demi menuju gerbang kemenangan.

Maka, skenario Kalla akan berlaku untuk semua pertarung internal. Tokoh-tokoh yang disebutkan tersebut akan dengan mati-matian merebut nominasi Golkar, dan itu sah-sah saja dalam politik. Sebagai ketua umum Golkar dan wapres, Kalla berpeluang besar, namun pasti tidak dengan mudah melenggang. Pengalaman Akbar mengajarkan bahwa ketua umum sekalipun bisa disalib di tikungan akhir.

Skenario Kalla adalah, bila tidak kuat bertarung di internal Golkar atau kalah, tinggal mencari kendaraan lain. Surya tampaknya mau merapat ke Mega, demikian pula Fadel dan Hamengkubuwono. Untuk Hamengkubuwono, upaya untuk mencari parpol pendukung tetap akan dilakukan, tetapi bila tidak mencapai kuota 20 persen kursi atau 25 persen suara, jabatan wapres akan sangat menarik. It is better than nothing. Mengingat hubungan yang mulai retak dengan SBY, satu-satunya alternatif adalah merapat ke Mega. Namun, bukan tidak mungkin pula SBY mencari pendamping dari Golkar bila benar-benar ditinggalkan Kalla. Selain untuk memecah kekuatan Golkar, juga berguna untuk menambah kekuatan kubu SBY sendiri.

Sikap dan Nasib Kalla

Kalau boleh memilih, Kalla sebenarnya tetap ingin berdiri di samping SBY, karena itulah peluang terbesarnya. Semua survei mengenai capres tak ada yang menyebutkan Kalla punya kans besar. Peluang tertinggi selalu pada sisi SBY dan Megawati. Dua sosok inilah yang diperkirakan akan bertarung peda medan akhir putaran kedua (second round). Kalaupun ada yang bisa menjadi kuda hitam, hanya dua sosok saja yang agaknya patut diperhitungkan: Prabowo dan Hamengkubuwono. Masalahnya, sanggupkah mereka mengumpulkan sisa laskar agar menjadi 20 persen kursi atau 25 persen suara. Tentu sangat tidak mudah.

Rasionalitas Kalla sebagai pedagang pasti memberontak, kalau sudah hampir pasti kalah kenapa harus ngotot menjadi capres, padahal peluang cawapres bersama SBY jauh lebih besar. Pada titik ini, Kalla pada posisi maju kena mundur kena. Bila Golkar nanti menang pemilu, tetap saja akan ada desakan untuk mencalonkan presiden sendiri. Masak pemenang pemilu tidak berani mencalonkan presiden sendiri, begitulah pernyataan yang akan muncul nantinya. Bila Golkar kalah, posisi Kalla makin terjepit. Desakan untuk memberikan jalan bagi kader lain akan menguat. Karena tidak ada pilihan, deklarasi kesedian itulah

Setelah menyatakan bersedia menjadi capres, banyak muncul komentar tentang nasib duet SBY-Kalla saat ini. Bahkan ada yang menyarankan Kalla untuk mundur saja agar tidak terjadi disharmoni dalam tubuh pemerintahan, sekaligus menyelematkan citra Golkar yang diremehkan parpol lain (Demokrat?). Saran itu menurut saya tidak pada tempatnya. Meminta Kalla mundur sama artinya menyuruhnya pergi dari suatu yang "pasti" kepada yang "

Jabatan wapres itu adalah sesuatu yang pasti, sementara capres itu adalah sesuatu yang belum jelas. Pasti, bukan sekadar posisi itu mendatangkan banyak kenikmatan, melainkan menuntut tanggung jawab. Tanggung jawab Kalla adalah melanjutkan komitmen pemerintahannya bersama SBY yang dimandatkan langsung oleh rakyat. Walaupun tampak seperti ban serep, posisi wapres sangat penting. Bayangkanlah bila suatu saat SBY berhalangan, wapres harus menggantikan. Betapa pun peliknya posisi Kalla saat ini, komitmennya kepada rakyat harus ditunaikan, tidak boleh tinggal gelanggang begitu saja, kecuali rakyat sendiri yang menuntutnya mundur seperti terjadi pada Soeharto.

Terakhir untuk Wapres Kalla, kalah menang dalam politik itu sangat biasa. Andai Anda kalah dalam medan pertarungan pilpres nanti, atau bahkan sudah terhadang di internal Anda sendiri, Indonesia tetap akan mencatat bahwa M. Jusuf Kalla adalah salah seorang putra terbaik yang telah berbuat banyak untuk bangsa. Bagi orang Aceh, Anda mungkin akan dikenang sebagai pahlawan perdamaian mereka.***

Suara Terbanyak atau Banyak Bersuara?

SEPUTAR INDONESIA, 21 Februari 2009

Refly Harun
Peneliti Senior Cetro;
Chevening Fellow University of Birmingham, Inggris

Apa lagi maunya KPU? Gumaman itu meluncur begitu saja dalam perjalanan saya dari London ke Birmingham, 19 Februari lalu.

Dari internet saya menyimak polemik muncul kembali mengenai penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak yang telah diputuskan MK pada 19 Desember 2008, yang dikatakan Direktur Eksekutif Cetro Hadar Gumay sebagai “kado akhir tahun”. KPU ternyata belum merasa nyaman dengan putusan tersebut.

Mereka meminta Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) mengenai suara terbanyak,membonceng materi perppu tentang pemberian lebih dari satu tanda dan penetapan daftar pemilih tetap. Logika yang dibangun KPU kirakira demikian: setelah MK membatalkan Pasal 214 UU Pemilu (UU No 10/2008) telah terjadi kekosongan hukum mengenai cara untuk menetapkan caleg terpilih.

Untuk menambal kekosongan hukum tersebut, menerbitkan perppu adalah cara termudah dan tercepat, juga menjamin kenyamanan kerja KPU. Kekosongan hukum (legal vacuum) adalah suatu hal yang sangat mungkin terjadi dalam setiap putusan MK.Ketika MK menyatakan sebuah ketentuan undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sangat mungkin belum ada hukum yang menggantikannya.

Meminjam Hans Kelsen, fungsi badan seperti MK dalam pengujian undang-undang hanyalah negative legislator. MK hanya dapat membatalkan suatu ketentuan hukum, tetapi (seharusnya) tidak membuat norma hukum baru.Hanya DPR bersama pemerintah yang memiliki kekuasaan konstitusional untuk membuat undang-undang sebagai positive legislator.

Pakem seperti itu ternyata sudah ditinggalkan MK. Terbukti dalam putusan pengujian UU No 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 19 Desember 2006, MK telah menyelipkan norma baru. Keyakinan konstitusional MK menyatakan bahwa pembentukan pengadilan tipikor dengan cara menyelipkannya dalam undang-undang lain bertentangan dengan UUD 1945.

Para pakar hukum yang menyimak putusan tersebut rata-rata setuju bahwa ketentuan tersebut inkonstitusional.Berdasarkan ketentuan UU No 24/2003 (UU MK), pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 tidak berlaku lagi sejak putusan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Persoalannya, apa jadinya bila pakem formalistik tersebut diikuti?

Semua kasus yang saat ini ditangani Pengadilan Tipikor bubar jalan.Para terdakwa korupsi akan melenggang kangkung tanpa konsekuensi lebih lanjut,dan atas nama hukum mereka tidak boleh diadili untuk kedua kalinya untuk perkara yang sama.

Demi kemaslahatan,MK kemudian menyelipkan norma dalam putusannya yang memberikan napas selama tiga tahun bagi Pengadilan Tipikor hingga 19 Desember 2009. Karena dirasakan bermanfaat, putusan itu umumnya dapat diterima banyak pihak, termasuk para penggiat antikorupsi. ***

Putusan tentang suara terbanyak umumnya juga disambut baik,terutama oleh parpol-parpol yang berniat menerapkan suara terbanyak seperti PAN, Demokrat, dan Golkar, walaupun harus diakui pula bahwa ada yang menentang,seperti PDIP dan (terutama) para aktivis perempuan.

Sejak awal MK juga telah menyadari bahwa kontroversi tentang legal vacuum dapat terjadi.Itulah sebabnya dalam putusannya MK menyatakan bahwa KPU dapat mengatur soal suara terbanyak itu berdasarkan mandat Pasal 213 UU Pemilu, yang intinya menyebutkan bahwa KPU berwenang menetapkan caleg terpilih.

Diskresi itu memang luar biasa karena materi yang akan diatur oleh KPU sebenarnya setingkat undangundang, namun jadi tidak berlebihan karena diperintahkan oleh MK melalui putusannya.Diskresi KPU,karenanya, tidak boleh melebihi dari apa yang diperintahkan MK. Misalnya KPU tidak boleh membuat aturan suara terbanyak berdasarkan pembedaan caleg laki-laki dan caleg perempuan.

Dengan demikian,dalam tataran ini KPU sebenarnya hanyalah pelaksana dari ketentuan yang dibuat oleh legislator, baik positive legislator (DPR dan pemerintah) maupun negative legislator(MK). Mudahnya,dasar hukum dalam penentuan suara terbanyak adalah UU Pemilu, terutama ketentuan Pasal 213, dan putusan MK tanggal 19 Desember 2008.Putusan MK bernilai sama dengan undang-undang, dan dalam beberapa hal bahkan bisa melebihi ketentuan undang-undang.

Misalnya MK pernah mengesampingkan ketentuan Pasal 50 UU MK yang menyatakan bahwa MK hanya boleh menguji undang-undang yang diundangkan sebelum Perubahan Pertama UUD 1945. Karena itu putusan MK harus dilaksanakan tanpa pengecualian, termasuk oleh KPU.

Pertanyaannya, apakah terhadap putusan tersebut masih dibutuhkan perppu? Atau apakah perppu harus dikeluarkan untuk memperkuat putusan tersebut? Jawaban terhadap pertanyaan ini: tidak! Secara teoretis, perppu dibutuhkan karena adanya kegentingan yang memaksa, yang bisa saja ditafsirkan secara subjektif oleh presiden. Namun, yang juga tak kalah pentingnya adalah perppu perlu dikeluarkan karena ada kekosongan hukum.

Dalam perkara suara terbanyak, tidak terjadi kekosongan hukum karena KPU dapat mendasarkan tindakannya pada putusan MK yang bernilai sama dengan undang-undang. Mengeluarkan perppu (atau lebih tepatnya meminta perppu kepada presiden) dengan alasan kekosongan hukum sama sekali keliru. Ketika berkunjung ke KPU Inggris di London saya semakin menyadari betapa beratnya kerja KPU kita.KPU Inggris tidak bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu, termasuk hasilnya.

Proses pemilu diserahkan ke masing-masing pemerintah lokal, kepada pejabat yang disebut dengan returning officer. KPU Inggris hanya memberikan guidance dan lebih bertanggung jawab terhadap voter information dan voter education. Kepada salah seorang komisioner di sana saya katakan,“Dibandingkan KPU kami Anda lebih beruntung karena tugas Anda lebih ringan. KPU kami harus mengerjakan urusan pemilu dari A hingga Z.”

Sampai titik ini,rasa salut dan hormat perlu disampaikan kepada KPU. Namun, rasa hormat itu sering hilang begitu saja manakala melihat perilaku KPU yang tidak jelas juntrungannya. Dalam perkara meminta perppu, ketimbang menyelesaikan soal suara terbanyak, bagi saya,beberapa anggota KPU hanya ingin selalu terlihat tampil di publik dengan terus banyak bersuara! (*)

17 March 2009

Hikmah Pilkada Sulsel

Published by Seputar Indonesia, January 2008


Oleh Refly Harun

Alumnus University of Notre Dame, AS


Saya ingin memulai tulisan ini dengan sebuah opening statement, bahwa berlarut-larutnya penyelesaian masalah pemilihan kepala daerah di Sulawesi Selatan (pilkada Sulsel) mutlak kesalahan Mahkamah Agung (MA)! Sejatinya, putusan lembaga peradilan harus menjadi solusi, bukan memunculkan masalah baru. Dalam sengketa hasil pilkada, lembaga peradilan harus menjadi jalan terakhir (the last resort) jika penyelesaian lain tidak berbuah solusi akhir. Alih-alih menjadi solusi, yang terjadi malah sebaliknya. Putusan MA mengenai sengketa hasil pilkada Sulsel justru memunculkan masalah baru dan meledakkan konflik horisontal.

Putusan MA agar diadakan pilkada ulang di tiga tempat di Sulsel telah memunculkan komplikasi. Bukan saja karena UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) yang menjadi basis hukum pelaksanaan pilkada tidak mengenal adanya pilkada ulang, melainkan karena pilkada ulang itu sendiri akan mencuatkan banyak persoalan.

Yang paling sepele tapi penting misalnya soal definisi pilkada ulang. Saya yakin, dalam imajinasi para hakim MA, yang dimaksud dengan pilkada ulang pastilah pencoblosan ulang, tetapi terminologi yang dipakai adalah pilkada. Definisi pilkada dalam UU Pemda tidak hanya terbatas pada pencoblosan, melainkan sebuah tahapan yang dimulai dari pemutakhiran data pemilih hingga penetapan hasil pilkada. Bila terminologi UU Pemda yang dipakai, tidak bisa tidak pilkada ulang adalah sebuah pilkada baru. Karena pilkada baru tentu saja hasilnya tidak dapat diakumulasikan dengan hasil pilkada di daerah-daerah lain yang tidak diperintahkan untuk diadakan pilkada ulang.

Langkah KPU Sulsel untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) putusan MA tidak hanya tepat, melainkan merupakan solusi satu-satunya untuk penyelesaian kasus pilkada Sulsel. PK memang bukan instrumen yang dikenal dalam UU Pemda, tetapi inilah jalan satu-satunya untuk mengatasi abnormalitas putusan MA. Tinggal MA sendiri yang harus bersikap, ingin menyelesaikan masalah ini melalui putusan PK yang seadil-adilnya dan dapat dipertanggungjawabkan, ataukah terus membiarkan bola panas konflik Sulsel tertus membesar dan membakar.

Secara teoretis, hanya dua kemungkinan putusan PK, yaitu mengabulkan atau menolak PK. Bila PK dikabulkan berarti pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin-Nu’mang (Sayang) menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel. Bila sebaliknya, pilkada ulang mau tidak mau harus digelar. Kompleksitas persoalan akan kembali mencuat bila PK ditolak.

Fakta ini seperti mem-fait accompli majelis hakim PK untuk mengabulkan permohonan karena itulah solusi satu-satunya. Apa boleh buat, hal ini terjadi karena ‘kesembronoan’ MA sendiri. Dalam sengketa hasil pilkada, ada hukum yang jelas: pemohon harus dapat membuktikan kesalahan penghitungan suara oleh penyelenggara pemilu dan memohonkan penetapan penghitungan yang benar menurut versi mereka, tentu dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bila dikabulkan, penghitungan versi pemohon tersebut harus dapat mengubah hasil pemilu.

Bila pemohon tidak mampu membuktikan atau penghitungan suara yang diajukan tidak signifikan, permohonan harus ditolak, kendati misalnya ditemukan satu-dua kecurangan dalam pelaksanaan pilkada. Itulah kepastian hukum dalam sengketa hasil pilkada. Putusan MA yang memerintahkan pilkada ulang telah membunuh karakter kepastian hukum tersebut.

Kewenangan MK

Abnormalitas putusan Pilkada Sulsel yang sebelumnya juga terjadi pada Pilkada Depok tahun 2005 makin menegaskan urgensi penyelesaian sengketa atau perselisihan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Hambatan konstitusional (constitutional constraint) dimasukkannya sengketa hasil pilkada ke MK telah dibongkar melalui dua fakta hukum yang sudah ada. Pertama, putusan MK tanggal 22 Maret 2005 terhadap permohonan pengujian UU Pemda telah menegaskan bahwa pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) dapat mengatur bahwa pilkada masuk dalam rezim pemilu.

Konsekuensi dari masuknya pilkada dalam rezim pemilu antara lain adalah penanganan perselisihan hasil pemilu oleh MK. Sebab, Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa MK berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus tentang perselisihan hasil pemilu. Bila pemilu diartikan mencakup pula pilkada, ketentuan Pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 dapat menjadi dasar konstitusional untuk memberikan kewenangan memutuskan sengketa hasil pilkada kepada MK.

Kedua, UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang diundangkan pada 19 Aprol 2007 telah dengan jelas memasukkan pilkada sebagai bagian dari rezim pemilu. Sayangnya, pemberlakuan undang-undang tersebut tidak segera diikuti dengan langkah mengeluarkan ketentuan pilkada dalam UU Pemda menjadi undang-undang tersendiri. Akibatnya, dalam hal penyelenggaraan pilkada telah bekerja dua rezim. Penyelenggara pilkada (KPU provinsi atau kabupaten/kota) diatur dalam rezim pemilu (UU Penyelenggara Pemilu), tetapi penyelenggaraannya masih tunduk pada rezim pemerintahan daerah (UU Pemda). Itulah sebabnya hingga hari ini sengketa hasil pilkada masih diatur dan tunduk pada UU Pemda.

Ada banyak alasan mengapa sengketa hasil pilkada tersebut penting ditangani MK. Yang paling paradigmatik adalah upaya untuk mendorong MK menjadi peradilan politik, sedangkan MA tetap menjadi peradilan masalah-masalah perdata dan pidana. Sengketa hasil pilkada seperti halnya sengketa hasil pemilu adalah soal politik sehingga akan lebih pas bila ditangani oleh MK.

Memindahkan sengketa hasil pilkada dari MA ke MK akan menjauhkan pengadilan dari konflik horisontal di daerah. Berdasarkan arrangement dalam UU Pemda, sengketa hasil pemilihan bupati/walikota ditangani oleh pengadilan tinggi dan hanya pemilihan gubernur yang langsung ditangani oleh MA. Kita tahu pengadilan di daerah selama ini rentan terhadap pengaruh eksekutif di daerah, kerentanan yang ternyata juga melanda MA. MK dalam perspektif saya akan lebih memiliki kapabilitas untuk tetap netral dari pertarungan-pertarungan politik baik di tingkat pusat maupun di daerah. Buktinya MK mampu menyelesaikan ratusan sengketa hasil Pemilu 2004 ditambah satu sengketa Pilpres 2004 relatif tanpa gejolak yang berarti.

Secara praktis, calon-calon kepala daerah yang ingin bersengketa akan berpikir ulang untuk mengajukan sengketa hasil pilkada ke MK. Alasannya, ongkos untuk bersengketa ke Jakarta bagi calon bupati/walikota akan jauh lebih besar, dan track record MK selama ini yang jauh dari mafia peradilan akan membuat mereka yang membawa sengketa hasil pilkada dengan bukti ‘pepesan kosong’ tidak akan berani maju ke meja persidangan.

The last but not least, dengan volume 25-30 kasus per tahun atau tidak lebih dari tiga perkara per bulan, MK sesungguhnya ‘kurang kerjaan’ dan kelebihan bujet. Akibatnya, hari-hari terakhir ini kerap MK mengadakan kegiatan-kegiatan yang tidak terkait dengan fungsi judisial dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945.

MK karenanya harus dibuat ‘sibuk’, tidak boleh terlalu banyak ‘meganggur’, agar kembali kepada khittah sebagai lembaga judisial. Caranya antara lain dengan diberikan tugas untuk menyidangkan sengketa hasil pilkada. Dalam jangka panjang, harus ada constitutional engineering untuk mengoptimalkan keberadaan MK, misalnya dengan memberikan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan pengaduan konstitusional (constitutional complaint).***


Jakarta, 20 Januari 2008

MK di Bawah Bendera Parpol

Published by Jurnal Nasional, July 2008


Oleh Refly Harun

Peneliti Senior Centre for Electoral Reform (Cetro),

Mantan Staf Ahli MK


Terpilihnya Prof. Mahfud MD sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), 19 Agustus lalu, membawa harapan sekaligus kecemasan. Kecemasan, karena Mahfud notabene adalah orang parpol. Publik tahu, sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi dan kemudian Ketua MK, Mahfud adalah anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski kepakarannya dalam bidang hukum tatanegara tidak perlu diragukan lagi, ‘bau-bau’ parpol tersebut tentu tidak mudah untuk dihilangkan.

Sejak awal, ketika pemilihan hakim konstitusi pertama pada 2003, saya telah menentang masuknya orang-orang parpol ke MK. Negarawan, salah satu syarat untuk menjadi hakim konstitusi, harus mereka yang beyond dari political interest. Orang politik tidak mungkin demikian karena kepentingan politik adalah menu sehari-hari. Merenggut kepentingan politik seorang politisi ibarat mengamputasi kaki seorang sprinter atau menghilangkan pita sura seorang penyanyi.

Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) karya para politisi di Senayan secara cerdas membedakan syarat hakim konstitusi dan syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi. Ketika ingin menjadi hakim konstitusi, seorang politisi bisa saja bertarung di medan pemilihan Presiden, DPR, atau bahkan MA, asal setelah terpilih dan akan dilantik menjadi hakim konstitusi, yang bersangkutan mengundurkann diri dari parpol. Mahfud dan Akil Mukhtar telah memanfaatkan celah ini untuk maju pada medan pertarungan DPR. Mereka menang.

Terlepas pada reputasi Mahfud, saya menilai praktik seperti ini tidak seharusnya dipertahankan. Harus ada jedah yang signifikan bagi seorang politisi bila ingin menjadi negarawan. Hari-hari terakhir ini kita melihat betapa posisi-posisi publik memberikan karpet merah kepada para politisi. Politisi diperbolehkan merambah ke mana-mana, termasuk ke lembaga yang seharusnya steril dari politisi seperti hakim konstitusi.

Sharing Power

MK pada periode kepemimpinan Jimly Asshiddiqie harus diakui banyak mencetak prestasi dan mengundang apresisasi, tetapi bukan berarti tanpa kekurangan. Hadirnya Mahfud dalam tampuk kepemimpinan MK diharapkan mempertahankan prestasi yang telah diraih dan menambal kekurangan yang ada. Independensi sembilan hakim konstitusi dalam memutuskan perkara dan belum terciumnya bau mafia peradilan adalah dua prestasi yang patut dipertahankan.

Independensi hakim dalam memutuskan perkara dan bebasnya sebuah institusi peradilan dari judicial corruption adalah ruh. Tanpa itu, lembaga pengadilan bukanlah lembaga pengadilan, tempat bagi pencari keadilan (justice seeker) untuk mencari keadilan. Mahfud tidak boleh bermain-main untuk dua hal tersebut. Isu yang beredar, naiknya Mahfud sebagai Ketua MK karena sokongan istana. Istana tidak begitu bahagia dengan Jimly karena sepak terjangnya yang terlalu independen, dan belakangan sering melakukan langkah-langkah kuda bak permainan catur, terutama terkait dengan medan pertarungan Pemilu 2009. Jimly harus distop dan Mahfud dianggap paling layak untuk menggantikan.

Mampukah Mahfud keluar dari politik balas budi istana? Inilah tantangan bagi Mahfud, selain membunuh sepenuhnya ikatan batin terhadap parpol tertentu atau kolega-koleganya sesama politisi. Tantangan lain adalah membawa MK kembali pada jati diri sebagai lembaga peradilan. Pada tahun-tahun terakhir kepemimpinannya, Jimly terlalu politis. Ditangannya, MK tidak hanya menjadi lembaga pengawal konstitusi, melainkan juga telah tumbuh sebagai salah satu pusaran isu di Republik ini.

MK adalah Jimly, Jimly adalah MK. Kelembagaan MK yang sesungguhnya merupakan kelembagaan sembilan hakim konstitusi telah dipersonalisasi sedemikian rupa seolah-olah hanya menjadi lembaga sang ketua, yang melayani keinginan-keinginan ketuanya, karena sang ketua punya target-terget politik tertentu.

Mahfud harus mampu menjadi antitetis dari fenomena ini. Mutkhi Fadjar, salah seorang hakim konstitusi yang akhirnya terpilih mendampingi Mahfud sebagai Wakil Ketua MK, secara tepat menyatakan sebelum pemilihan Ketua MK, bahwa seorang hakim adalah orang yang kesepian. Tidak boleh tumbuh sebagai sorang selebriti. Intinya, hakim harus berani tidak populer, tidak banyak bicara, tetapi banyak bertindak adil melalui putusan-putusannya. Hakim dan selebriti ibarat air dan minyak, tidak bisa menyatu.

Pada saat terpilih sebagai Ketua MK pada 2003, Jimly sering menyebut sembilan hakim MK sebagai ’sembilan pintu kebenaran’. Bayangan saya dengan pernyataan itu, ada keinginan kuat untuk membangun sembilan institusi hakim konstitusi dalam MK seperti the Nine Salomon-nya sembilan hakim agung AS. Faktanya kemudian, institusi delapan hakim lainnya tidak terbentuk. Yang kuat hanyalah institusi Ketua MK. Padahal, jabatan Ketua MK sebenarnya sekadar ’koordinator’, bukan penguasa tunggal seperti halnya presiden. Masalahnya, sering pimpinan lembaga di Republik ini bergerak dengan personal interest dan lembaga dibawa untuk melayani keinginan tersebut.

Tantangan Mahfud ke depan adalah sharing power dengan delapan hakim konstitusi lainnya. Mahfud harus mampu mewujudkan proyek ’sembilan pintu kebenaran’ yang baru sebatas ide pada periode kepemimpinan Jimly. Sumber daya manusia dan sumber daya finansial harus didistribusikan kepada para hakim konstitusi, tidak boleh dikuasai sendiri. Hakim konstitusi harus dibantu dengan supporting staff yang dapat membantu mereka dalam mewujudkan tugas-tugas konstitusional, bukan target-target politik.***


Jakarta, 23 Juli 2008

Katakan Tidak pada Rezim MA

Published by Jurnal Nasional, October 2008


Oleh Refly Harun

Pengamat Hukum, Mantan Staf Ahli MK


“Karena itu, dapat dikatakan bahwa pada pokoknya bukanlah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menerapkan sesuatu norma hukum yang seharusnya bersifat umum dan abstrak ke dalam suatu peristiwa konkret, karena hal tersebut sudah seharusnya merupakan wilayah kewenangan hakim melalui proses peradilan atau kewenangan pejabat tata usaha negara melalui proses pengambilan keputusan menurut ketentuan hukum administrasi negara.”

Kalimat di atas tertuang dalam Putusan MK Nomor 013/PUU-I/2003 yang dibacakan pada sidang tanggal 23 Juli 2004 terhadap pengujian UU Nomor 16 Tahun 2003. Undang-undang tersebut berisi penerapan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorsime untuk peristiwa bom di Bali tanggal 12 Oktober 2003, yang dikeluarkan setelah adanya peristiwa Bom Bali dan diberlakukan secara surut (retroaktif) kepada pelaku. Dengan alasan bertentangan dengan UUD 1945 undang-undang itu pun kemudian dibatalkan. Salah satu alasan pembatalan, undang-undang sebagai produk legislatif berisi kaidah-kaidah hukum mengatur yang bersifat umum dan abstrak (abstract and general norms), tidak seharusnya memuat kaidah-kaidah yang bersifat individual dan konkret (individual and concrete norms).

Gonjang-ganjing tentang perpanjangan usia pensiun hakim agung dari 65 ke 70 tahun yang muncul belakangan ini mengingatkan saya kembali pada putusan MK tersebut. Kendati tidak sama persis, revisi UU Mahkamah Agung (MA) yang saat ini digodok DPR sepertinya khusus ditujukan kepada pribadi-pribadi tertentu, terutama Ketua MA Bagir Manan yang akan memasuki masa pensiun. Bagir Manan seharusnya sudah pensiun dua tahun lalu, tetapi kemudian diperpanjang (oleh dirinya sendiri) sesuai dengan ketentuan yang ada hingga berusia 67 tahun. Tidak ada celah untuk memperpanjang lagi masa kekuasaan Bagir Manan, kecuali dengan perubahan undang-undang. Bila perubahan batas usia 70 tahun gol, Bagir akan bercokol di tampuk kekuasaan MK untuk tiga tahun ke depan.

Sejumlah komponen society mengkritik langkah memperpanjang usia pensiun tersebut. Indonesian Corruption Watch (ICW), misalnya, melakukan aksi teatrikal di depan Gedung MA, menggambarkan bahwa MA saat ini telah menjadi kumpulan orang-orang jompo. Karena desakan-desakan itulah, DPR kemudian belum mengegolkan perpanjangan usia pensiun tersebut, paling tidak hingga saat ini. Itu artinya di atas kertas peluang Bagir untuk terus bercokol pupus sudah.

Bagi saya, masalah di MA saat ini bukan soal memperpanjang atau tidak memperpanjang usia pensiun hakim agung, melainkan masalah kepercayaan (trust). Selama tujuh tahun menjabat sebagai Ketua MA, Bagir tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan. MA belum muncul sebagai lembaga yang dapat dipercaya. Publik masih tetap mempersepsi MA sebagai pusat jual beli perkara, suap-menyuap, dan citra negatif lainnya. Bagir Manan dan MA sendiri pernah jatuh pada titik nadir ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengobok-obok kantor Bagir Manan terkait dengan kasus suap yang melanda salah seorang hakim agung dalam kasus yang melibatkan pengusaha Probosutedjo. Saat itu, Bagir ditengarai juga terlibat dalam kasus tersebut.

Dengan catatan yang buruk tersebut, wajar bila komponen society menolak keberlangsungan kepemimpinan Bagir dengan entry point perpanjangan usia hakim agung. Seharusnya tidak ada reward bagi mereka yang tidak perform dalam melaksanakan tugasnya. Bagir dan MA telah mengkhianati satu agenda reformasi yang mahapenting, yaitu pemberantasan kourpsi. Sebagai garda atau benteng terakhir penjaga keadilan, MA berperan penting dalam agenda pemberantasan korupsi. Alih-alih menjalankan fungsinya dengan benar, Bagir dan MA yang dipimpinnya justru menjadi pengganjal luar biasa agenda pemberantasan korupsi. Bagir dan MA tidak menjadi part of solution dalam pemberantasan korupsi, melainkan part of problem.

Sangat mengherankan bila pembuat undang-undang (DPR dan pemerintah) tiba-tiba merasa penting bersegera menuntaskan masa perpanjangan usia hakim yang akan memberikan peluang Bagir untuk terus bercokol. Ada apa dengan DPR dan pemerintah? Pertanyaan ini kiranya wajar dilontarkan.

Spekulasi yang beredar, istana (baca: Presiden SBY) merasa ’nyaman’ dengan Bagir Manan. Bagir dianggap orang yang bisa diajak bekerja sama dengan istana. Inilah yang membedakan Bagir dengan Ketua MK Jimly Asshiddiqie yang akhirnya terjungkal lantaran (salah satunya) rekayasa istana melalui hakim-hakim konstitusi yang dipilih Presiden. Jimly dinilai terlalu independen dan putusan-putusan MK dinilai sering merepotkan pemerintah, salah satunya putusan bertubi-tubi tentang anggaran pendidikan minimal 20 persen.

Posisi Jimly yang kuat di publik membuat istana tidak mudah untuk menekan Ketua MK tersebut. Hal sebaliknya terjadi dengan Bagir. Posisinya yang lemah di mata publik karena sejumlah kasus menyebabkan Bagir lebih mudah untuk dipengaruhi dan ditekan kekuasaan di luar yudikatif. Seorang rekan beberapa hari lalu mengirimkan SMS kepada saya bahwa ektsekutif (Presiden) telah campur tangan dalam kekuasaan yudikatif. Pernyataan tersebut terkait dengan dua fenomena, yaitu pemilihan Ketua MK dan isu tentang perpanjangan usia hakim agung.

Dari pihak DPR, kepentingan memperpanjang rezim Bagir dkk bisa dikaitkan dengan banyaknya permasalahan hukum yang saat ini melanda para anggota DPR. Bila diobok-obok lebih jauh, bisa jadi yang terlibat dalam skandal tidak hanya segelintir anggota DPR seperti Alamin Nasution, Yusuf Faishal, dan Sarjan Taher, melainkan mayoritas wakil rakyat. Setelah merasa ’kebobolan’ dengan KPK karena ternyata tidak mau berkompromi, DPR tampaknya tetap ingin memelihara hubungan baik dengan Bagir Manan dan rezimnya di MA. Terlebih beberapa anggota Komisi III yang saat ini menggodok UU MA adalah mantan pengacara (beberapa di antaranya malah masih berpraktik diam-diam sebagai pengacara meskipun ada larangan) yang tetap ingin memelihara hubungan baik yang sudah terpelihara selama ini.

Agenda pemberantasan korupsi dalam bahaya bila institusi-institusi kunci seperti Presiden, DPR, dan MA tidak berkepentingan, bahkan merasa terganggu. Menghadapi fenomena seperti ini, tidak bisa tidak, segenap unsur civil society harus menyatukan tekad untuk menyatakan tidak pada rezim MA yang saat ini berkuasa. Sekali lagi, bukan karena perkara usia, melainkan trust yang sudah tida ada.***


Jakarta, 14 Oktober 2008