11 July 2009

Menegakkan Hak Pemilih

Struggle for People's Voting Rights

Published by Indonesian media
Kompas, 6 July 2009

Refly Harun
Constitutional Law Expert and Election Observer at Centre for Electoral Reform (Cetro), Petitioner of Judicial Review

"If we cannot secure all our rights, let us secure what we can." Thomas Jefferson, 1787

Kata-kata Thomas Jefferson itu pas untuk menggambarkan perjuangan ”setengah” panjang untuk melindungi hak warga negara yang terlalaikan penyelenggara pemilu, yang mencapai titik kulminasi melalui putusan Mahkamah Konstitusi, Senin (6/7/2009).

Hari ini, semua warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah menikah diharapkan dapat menggunakan hak memilihnya dalam pemilihan kedua presiden secara langsung dalam sejarah Indonesia.
Tercecer

Yang dapat memilih termasuk mereka yang tercecer tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan. Dalam Pemilu Legislatif 9 April lalu, diperkirakan jutaan warga negara tidak dapat memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Ada banyak spekulasi mengenai jumlah. Ada yang menyebutkan angka 40 juta, ada yang menyebut angka yang lebih kecil. Namun, jumlah bukan pangkal persoalan. Berapa pun itu, asal dia warga negara yang sudah berusia 17 tahun dan atau sudah menikah seharusnya dapat memilih.

Negara, melalui penyelenggara pemilu, harus mampu menjamin terpenuhinya hak memilih warga karena—meminjam MK—hak untuk memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi karena soal-soal teknis administratif.

Faktanya, kendati KPU sudah berlari kencang untuk mendata semua pemilih yang memenuhi syarat (eligible voters) pascakisruh DPT pada pemilihan 9 April, tetap saja masih banyak yang tercecer.

Negara tidak lagi mampu melindungi hak warga negara, maka harus ada yang mau bertindak, persis seperti yang dikatakan Jefferson, ”Bila tidak mampu melindungi semua hak, lindungi saja apa yang kita bisa.”

Judicial review ke MK adalah pilihan logis setelah tuntutan keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) menjadi gayung yang tidak bersambut.

Empat jalan
Sebagai peneliti di Centre for Electoral Reform (Cetro), ada empat jalan yang semula saya wacanakan untuk melindungi hak pemilih non-DPT, yaitu revisi terbatas UU Pilpres, perppu, judicial review, dan peraturan KPU. Yang paling aman adalah melakukan revisi terbatas atas UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Revisi perlu dilakukan karena ada ketentuan dalam UU Pilpres yang memblokade pemilih non-DPT untuk melaksanakan haknya, yaitu Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1).

Kedua ketentuan itu pada dasarnya menyatakan, pemilih yang memenuhi syarat (usia 17 tahun dan/atau sudah kawin) baru dapat memilih bila tercantum dalam daftar pemilih. Daftar pemilih yang dimaksud adalah DPT dan daftar pemilih tambahan.

Masalahnya, kewajiban mendaftar ada pada penyelenggara pemilu, bukan pemilih bersangkutan. Sistem pendaftaran pemilih di Indonesia menganut stelsel pasif. Semua warga yang memenuhi syarat harus didaftar oleh penyelenggara pemilu, suka atau tidak. Amat tidak adil dan mencederai akal sehat saat kelalaian penyelenggara pemilu untuk mendaftar warga negara ditimpakan akibatnya kepada warga negara itu, berupa penghilangan hak untuk memilih.

Mengharapkan DPR mau concern dengan soal hak warga negara melalui revisi undang-undang yang mereka buat agaknya jauh panggang dari api. Itu sebabnya, usul untuk revisi terbatas pasca-Pileg 9 April dibuang jauh-jauh.

Pilihan berikut adalah meminta Presiden mengeluarkan perppu. Cetro telah menggelar konferensi pers 5 Juni 2009 yang meminta Presiden SBY mengeluarkan perppu, yang intinya membolehkan pemilih non-DPT memilih sepanjang menunjukkan identitas yang sah. Sejumlah komponen masyarakat juga menyuarakan soal ini, termasuk Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin. Presiden bergeming, KPU dan Bawaslu juga tak mau berinisiatif.

Akhirnya jalan ketiga ditempuh, berupa pengajuan judicial review terhadap Pasal 28 dan Pasal 111 Ayat (1) UU Pilpres. Bersama seorang rekan yang juga tidak bisa memilih pada Pileg 9 April lalu, Maheswara Prabandono, saya bertindak sebagai pemohon. Permohonan diajukan pada 16 Juni, tetapi baru diregistrasi 24 Juni. Ketua MK Mahfud MD malah sempat mewacanakan untuk tidak memproses permohonan itu karena tidak cukup waktu.

Harian Kompas memuat tanggapan saya atas pernyataan Mahfud. Saya katakan, MK tidak profesional. Faktanya MK pernah memutuskan perkara yang diajukan mantan Presiden Abdurrahman hanya dalam waktu tiga hari sejak diajukan menjelang Pilpres 2004. Kritikan itu berbuah karena pada 2 Juli saya menerima telepon panggilan sidang yang akan diadakan 6 Juli.

Cerita selanjutnya telah diketahui publik, MK mengabulkan sebagian tuntutan. Mereka yang non-DPT dapat memilih dengan menunjukkan KTP/paspor.

Masalah
Sayang, putusan itu masih menyisakan masalah. Sebagian saudara kita yang non-DPT tetap tidak bisa memilih. Mereka antara lain mahasiswa perantau, pekerja rantau, atau siapa saja yang masih menggenggam KTP asal. Mereka bisa memilih bila pulang kampung, sesuatu yang mungkin sulit dilakukan untuk pencontrengan.

Akibatnya, putusan MK seperti setengah hati. Lembaga pelindung hak konstitusi warga itu hanya menjebol sebagian dinding blokade karena memiliki perspektif sama dengan unsur negara lainnya: pilpres akan curang bila semua dinding penghalang dijebol.

Maka, hari ini, masih akan ada saudara-saudara kita yang tetap tidak bisa memilih karena tidak tercantum dalam DPT. Kendati demikian, mereka tetap berhak atas servis dari presiden yang akan ditentukan pemenangnya hari ini oleh kita yang memilih.***

No comments: