11 July 2009

Mari Berpesta Hari Ini

Lets Have the Party in Today's Election


Refly Harun

Constitutional Law Expert and Election Observer, Centre for Electoral Reform (Cetro)

Published by Indonesian media
Seputar Indonesia, 8 July 2009

Hari ini, 8 Juli 2009, lebih dari seratus tujuh puluh juta rakyat Indonesia akan menunaikan haknya dalam pemilihan presiden secara langsung.

Tiga pasang kandidat saling bersaing untuk merebut kepemimpinan politik lima tahun ke depan: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto.Siapa pun yang menang, mereka akan menjadi presiden kita, presiden Indonesia, bukan hanya presiden pendukung, apalagi tim sukses. Pemungutan suara hari ini terasa lebih spesial karena ada kado istimewa dari Mahkamah Konstitusi (MK), berupa putusan yang membolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilihan tambahan untuk menggunakan haknya dengan menunjukkan KTP atau paspor.

Putusan yang dibacakan pada sidang 6 Juli lalu itu diperkirakan dapat menyelamatkan jutaan warga yang tadinya bakal kehilangan hak memilih, yang jumlahnya tidak sedikit—bahkan ada yang menyebut hingga 49 juta. Putusan MK itu lebih bernilai bila warga negara berduyun-duyun ke tempat pemungutan suara (TPS) yang akan dibuka pada pukul 8–13.00. Khusus kepada pemilih non-DPT, giliran mereka memilih baru pukul 12.00 hingga TPS ditutup pada pukul 13.00.

Di antara kita, tentu ada yang skeptis terhadap prosesi bernama pemilu. Mereka menilai pemilu tidak menghasilkan apa-apa, kecuali hiruk-pikuk yang tak berkesudahan dan perpecahan di mana-mana. Terhadap pendapat demikian, kita tetap harus menghormati. Di alam demokrasi ini, memilih atau tidak memilih dalam pemilu adalah hak, belum dikonstruksikan sebagai kewajiban sebagaimana di Australia.

Putusan MK baru sebatas melindungi hak bagi warga non-DPT, tetapi soal penggunaan terpulang pada pemilih sendiri. Namun alangkah baiknya bila kita memberi makna atas putusan tersebut dengan datang ke TPS, menentukan pilihan terhadap satu dari tiga calon yang ada,siapa pun dia.

Tradisi Gentleman
Seperti halnya pemilu legislatif yang diselenggarakan pada 9 April lalu, pemenang pemilu kali ini pun pasti sudah bisa ditentukan, bahkan jauh lebih mudah dan cepat karena hanya menyangkut perkara tiga pasang calon yang namanya tertera di kertas suara (ballot paper).

Alangkah indahnya bila yang menang dan yang kalah tetap dapat bertegur sapa. Ketika kalah dalam pemilihan presiden AS 2008, John McCain segera menelepon Barrack Obama yang baru ditahbiskan sebagai pemenang. Di depan pendukungnya pada malam setelah pemungutan suara, McCain berujar, “I wish godspeed to the man who was my former opponent and will be my president.” (Saya mendoakan segala kebaikan kepada mantan pesaing dan yang akan menjadi presiden saya).

Dilanjutkan lagi McCain, ”These are difficult times for our country. And I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us through the many challenges we face.” (Saat ini adalah masa-masa yang sulit bagi negara kita. Dan saja berjanji kepadanya malam ini untuk mencurahkan segenap upaya dalam membantunya memimpin kita keluar dari tantangan yang kita hadapi).

Penghargaan yang sama juga keluar dari mulut Obama terhadap McCain. “I just received a very gracious call from Senator McCain. He fought long and hard in this campaign, and he’s fought even longer and harder for the country he loves. He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine,…”(Saya baru saja mendapat telepon yang bersahabat dari Senator McCain.Dia berjuang keras dalam kampanye ini.

Dia bahkan telah berjuang lebih lama dan lebih keras bagi negara yang dia cintai. Dia telah berkorban untuk Amerika yang sebagian besar dari kita membayangkannya pun tidak). Sayangnya, tradisi politik Indonesia jauh dari sikap gentleman. Mereka yang kalah dengan begitu mudahnya menyatakan bahwa pemilu curang. Tidak pernah ada sikap yang mau mengakui kemenangan lawan. Sore setelah TPS ditutup pada pukul 13.00, rakyat kembali akan menyaksikan apakah tradisi politik tersebut telah berubah.

Apakah yang kalah akan menelepon pemenang dan mengucapkan selamat atas kemenangannya, ataukah buru-buru menyatakan pemilu berlangsung curang dan penuh rekayasa sang pemenang. Jawabannya tidak butuh lama, cukup beberapa jam setelah TPS ditutup pada pukul 13.00 hari ini.

Tugas Bersama
Kecurangan dalam bahasa sang pecundang bisa jadi dipicu oleh titik krusial tertentu, salah satunya putusan MK.Kendati putusan tersebut disambut dengan sukacita oleh banyak warga, termasuk oleh kandidat sendiri, bisa jadi justru akan menjadi sasaran tembak kalau pelaksanaannya tidak dikawal dengan baik.

Mereka yang merasa memiliki KTP tiba-tiba merasa berhak untuk memilih berkali-kali dengan identitas yang mereka miliki. Bisa jadi di lapangan banyak yang tidak peduli bahwa putusan MK membatasi pemilik KTP untuk memilih di wilayah RT/RW di mana KTP tersebut dikeluarkan, tidak di sembarang tempat. Mereka tetap memaksa untuk memilih dan bila tidak diizinkan akan memunculkan protes yang akhirnya akan mencederai prosesi Pilpres 2009.

Saya sendiri sebenarnya menyesalkan putusan MK tersebut yang masih setengah hati. Filosofi putusan kurang bisa dicerna nalar yang sehat. Di satu sisi, MK menyatakan bahwa hak memilih (the right to vote) adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dihilangkan hanya karena persoalan teknis-administratif. Di sisi lain, masih membuat pembatasan tertentu yang berpotensi menghilangkan hak memilih warga negara yang kebetulan sedang berada jauh di luar wilayah KTP yang dia punyai.

Masalah yang tidak kalah krusialnya adalah sampainya informasi ke publik dan petugas KPPS akan putusan MK.KPU harus betul-betul memastikan bahwa informasi tersebut sampai ke jajaran pelaksana pemilu di tingkat bawah, selain kepada pemilih.Komunikasi harus terus dijaga hingga hari ini ketika lebih dari seratus juta warga akan memilih.Tugas KPU menjadi jauh lebih ringan karena sejak putusan dibacakan, secara terus-menerus media massa memberitakan.

Selain KPU dan jajarannya, komponen yang tidak kalah penting adalah Bawaslu dan jajarannya. Pengawasan pemilu harus berjalan dengan baik di semua tingkatan. Tidak ada alasan bila pengawasan lebih buruk karena faktanya pilpres jauh lebih sederhana dibanding pemilihan legislatif.Adanya pengawas lapangan sejak Pemilu 2009 sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pengawasan.

Bila pengawasan masih lemah juga, tentu menjadi pertanyaan besar di kemudian hari untuk mempertahankan eksistensi para pengawas pemilu, yang di banyak negara bahkan tidak dibutuhkan. Yang tak juga kalah pentingnya adalah peran saksi-saksi dari pasangan calon. Pemilihan anggota legislatif pasti tidak sama dengan pemilihan presiden. Dalam pemilihan anggota legislatif, bisa jadi kandidat tidak punya saksi yang memadai sehingga tidak berdaya apa-apa ketika suara yang didapat dicurangi, baik oleh pesaing dari partai lain maupun rekan dari partai sendiri.

Fenomena yang jamak dalam pemilihan anggota legislatif adalah seringnya kecurangan terjadi bukan antarparpol, melainkan antarcaleg dari parpol yang sama atau berbeda. Pasangan capres seharusnya memiliki saksi di semua TPS. Tidak ada gunanya iklan puluhan miliar yang telah digelontorkan bila suara tidak dikawal, bila mereka tidak menghadirkan saksi di setiap TPS. Dalam alam demokrasi seperti saat ini, rasanya agak mustahil bila ada satu kekuatan yang bisa menentukan hasil pemilihan. Yang ada adalah mental jelek kandidat untuk mencari kambing hitam bila hasil pemilu tidak memuaskannya.

Hari ini, lebih dari seratus juta warga akan memilih.Mereka yang memilih tersebut tentu ingin menyaksikan Pilpres 2009 berakhir indah. Pemilu dan pilpres sejatinya adalah pesta, pesta rakyat. Karena itu, marilah kita berpesta hari ini dengan mendatangi TPS-TPS sekaligus menyaksikan penghitungan suara.(*)

No comments: